Friday, 20 July 2018

Teori Intertekstual - Kajian Drama Indonesia



Teori Intertekstual - Kajian Drama Indonesia


Pengertian Intertekstual
Pendekatan intertekstual pertama diilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5).
Kemudian, pendekatan intertekstual tersebut diperkenalkan atau dikembangkan oleh Julia Kristeva. Menurut Kristeva, Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva (Worton 1990:1). Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh.



Prinsip intertekstual
Intertekstual menurut Kristeva mempunyai prinsip dan kaidah tersendiri dalam penelitian karya sastra, antara lain:
(1)   Interteks melihat hakikat sebuah teks yang di dalamnya terdapat berbagai teks;
(2)   Interteks menganalisis sebuah karya itu berdasarkan aspek yang membina karya tersebut, yaitu unsur-unsur struktur seperti tema, plot, watak, dan bahasa, serta unsur-unsur di luar struktur seperti unsur sejarah, budaya, agama yang menjadi bagian dari komposisi teks;
(3)   Interteks mengkaji keseimbangan antara aspek dalaman dan aspek luaran dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran teks-teks tersebut;
(4)   Teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu tercipta berdasarkan karya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada teks yang dibaca, tetapi meneliti teks-teks lainnya untuk melihat aspek-aspek yang meresap ke dalam teks yang ditulis atau dibaca atau dikaji;
(5)   Yang dipentingkan dalam interteks adalah menghargai pengambilan, kehadiran, dan masuknya unsur-unsur lain ke dalam sebuah karya (melalui napiah, 1994: xv).

Prinsip dasar intertekstualitas ( pradopo, 1997 : 228) adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram. hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara. Dalam kaitan ini, sastrawan yang lahir berikut adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya.  Dengan demikian mereka selalu menciptakan karya asli, karena dalam mencipta selalu diolah dengan pandangannya sendiri, dengan horison dan atau harapannya sendiri.

Tujuan intertekstual
Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya (karya sastra). Penulisan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitanya dengan unsure kesejarahannya, sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejerahan itu (Teeuw, 1983:62-5) 

Langkah langkah intertekstual
Ratna (2011:174) menyatakan bahwa secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara yaitu:
a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama,
b) hanya membaca sebuah teks, tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa dalam rangka membawa teks berhubungan dan berbatasan dengan teks lain, menurut Culler vraisembable dapat dibedakan menjadi 5 tingkat yang membantu teks dapat dipahami. Kelima tingkat tersebut ialah sebagai berikut.
1.      Teks yang diberikan secara sosial (wujudnya dunia nyata);
2.      Teks kurtural secara umum (berupa prinsip-prinsip kurtural yang ada di masyarakat; misalnya tata cara);
3.      Teks atau konvensi suatu genre kesusastraan atau hal-hal lain yang sifatnya tiruan;
4.      Sikap terhadap hal-hal tiruan (teks secara eksplisit menyatakan sikapnya terhadap vraisembable jenis ke-3 di atas dalam memperkuat otoritasnya);
5.      Vraisembable yang rumit dari intertekstualitas yang khas dikarenakan suatu karya menempatkan karya lain sebagai tempat berangkat dan harus dipahami dalam hubungannya dengan teks tersebut. (Kajian Intertekstual Dan Nilai Pendidikan Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto  Dengan Para Priyayi Karya Umar Kayam-2009-33)


Contoh pendekatan intertekstual

Novel Canting dan Para Priyayi merupakan novel yang berlatar belakang kebudayaan Jawa, dengan struktur, persamaan dan perbedaan, serta nilai pendidikan yang terkandung dalam kedua novel tersebut sebagai berikut.
 Struktur Novel Canting
Struktur novel Canting, meliputi:
a. Tema, yaitu kehidupan keluarga besar priayi Jawa dengan persoalan-persoalan keluarga yang begitu kompleks.
b. Alur, berdasarkan urutan waktu, novel ini beralur campuran, sedangkan berdasarkan kepadatan cerita, novel ini beralur longgar.
c. Penokohan dan perwatakan, digambarkan melalui tiga dimensi, yaitu fisiologis, psikologis, dan sosiologis. 
1) Pak Bei, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh sentral, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan tokoh bulat.
2) Bu Bei, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh pembantu, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan tokoh pipih atau datar.
3) Ni, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh sentral, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan tokoh bulat.
d. Latar, meliputi latar tempat, waktu, dan sosial.
1) Latar tempat, meliputi: Surakarta, yaitu Ndalem Ngabean Sestrokusuman,
Taman Ronggowarsito, dan Pasar Klewer.
2) Latar waktu, yaitu sebelum dan sesudah masa kemerdekaan, hanya saja dalam novel ini latar waktu tidak diungkap secara intens karena fokus dalam novel ini adalah masalah keluarga.
3) Latar sosial, yaitu kehidupan di lingkungan keraton Surakarta, terutama Ndalem Ngabean Sestrokusuman yang berdiri batik cap Canting.  
e. Sudut pandang pengarang, pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person narrator).
f. Amanat, yaitu kita harus dapat menerima kenyataan bahwa kini zaman telah berubah, kita harus mengikuti perubahan zaman dan menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Cara yang terbaik untuk menghadapi perubahan zaman yaitu dengan melebur diri tanpa harus kehilangan identitas kebudayaan kita. 

Struktur Novel Para Priyayi
Struktur novel Para Priyayi, meliputi:
a. Tema, yaitu mengenai kehidupan keluarga besar priayi Jawa dengan persoalan yang melingkupinya.
b. Alur berdasarkan urutan waktu, novel ini beralur campuran, sedangkan berdasarkan kepadatan cerita, novel ini beralur longgar.
c. Penokohan dan perwatakan, digambarkan melalui tiga dimensi, yaitu fisiologis, psikologis, dan sosiologis.
1) Lantip, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh sentral, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan tokoh pipih atau datar.
2) Sastrodarsono, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh sentral, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan tokoh bulat.
3) Ngaisah, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh pembantu, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan tokoh pipih atau datar.
4) Noegroho, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh utama, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan tokoh bulat.
5) Hardojo, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh utama, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan tokoh bulat.
6) Harimurti, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh utama, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan tokoh bulat.
d. Latar, meliputi latar tempat, waktu, dan sosial.
1) Latar tempat, meliputi: Wanagalih dan sekitarnya (Kedungsimo, Jogorogo, Ploso, Karangdompol, dan Wanalawas), Wonogiri, Solo, Yogyakarta, dan Jakarta.
2) Latar waktu, yaitu masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan, dan sesudah kemerdekaan. Waktu penceritaan novel ini panjang meliputi tiga generasi keturunan tokoh-tokohnya.
3) Latar sosial, yaitu gambaran sosial masyarakat Jawa yang mempunyai adat dan kebiasaan yang cukup unik, khususnya daerah Wanagalih (Ngawi) Jawa Timur.
e. Sudut pandang pengarang, pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama (first person narrator).
f. Amanat, yaitu semangat kemajuan, pengabdian kepada masyarakat tanpa pamrih, semangat kerukunan dan kekeluargaan. Semangat tersebut hendaklah ditumbuhkan dari kalangan wong cilik agar mereka pun ikut memberi warna pada kalangan priayi. 
Persamaan antara Novel Canting dan Para Priyayi
Persamaan kedua novel ini terdapat dalam beberapa aspek, yaitu tema, alur, penokohan dan perwatakan, dan latar, baik tempat, waktu maupun sosial. 
no
aspek
canting
Para priyai
1
tema
Kehidupan keluarga di Jawa
Kehidupan keluarga besar priyai Jawa
2
Alur
Berdasarkan urutan waktu
Campuran
Campuran
Berdasarkan kepadatan cerita
Longgar
Longgar
3
Penokohan dan perwatakan
Berdasarkan peranan dan fungsi tokoh dalam cerpen
Pak Bei : tokoh sentral
Sastrodarsono : tokoh sentral
Ni : tokoh sentral
Lantip : tokoh sentral
4
Latar
Latar tempat
Surakarta (pusat cerita)
Surakarta (tempat perkembangan dari perjalanan hidup keluarga besar Sastrodarsono, tempat Hardojo meniti karier di Mangkunegaran)

Latar waktu
Sebelum dan sesudah masa kemerdekaan
Sebelum dan sesudah masa kemerdekaan
Latar social
Masyarakat Jawa, khususnya Surakarta
Masyarakat Jawa, tidak hanya Surakarta, tetapi juga Wanagalih dan Yogyakarta.







Perbedaan antara novel Canting dan Para Priyayi
Perbedaan kedua novel ini terletak dalam beberapa aspek, yaitu penokohan dan perwatakan, sudut pandang pengarang, dan amanat.

no
aspek
canting
Para priyai
1
Penokohan dan perwatakan

Pekerjaan
Pak bei : abdi keraton
Sastridarsono : mantra guru sekolah desa

karakter
Ni tokoh bulat
Lantip tokoh pipih
2
Sudut pandang pengarang
Orang ketiga
Orang pertama
3
amanat
Kita harus dapat menerima kenyataan bahwa kini  zaman telah berubah, cara
yang terbaik untuk menghadapi perubahan zaman yaitu dengan melebur diri tanpa harus
kehilangan identitas kebudayaan kita. 

Semangat kemajuan, pengabdian kepada masyarakat tanpa pamrih, semangat kerukunan dan kekeluargaan hendaklah ditumbuhkan dari kalangan wong cilik agar mereka pun ikut memberi warna pada kalangan priayi.


Sinopsis Canting karya Arswendo Atmowiloto
“Canting”

Entah bagaimana perasaan orang tuanya ketika Tuginem akan dijadikan istri Raden Ngabehi Sestrokusuma. Sebagai buruh batik yang secara turun temurun mengabdi pada keluarga Sestrokusuma, orang tua Tuginem hanya percaya bahwa memang sudah demikianlah takdir yang digariskan Gusti Allah hingga membawa anak gadisnya menjadi seorang priayi. Bagi Tuginem, peruntungan seperti itu makin menyadarkan dirinya akan arti sebuahh pengabdian. Berbakti lahir dan batIn kepada suami, dalam segalagalanya. Maka ketika resmi menjadi istri Raden Ngabehi Sestrokusuma, yang biasa dipanggil Pak Bei, yang ada dalam pikiran Tuginem adalah berbakti dan menyenangkan suami. Ia pun tak lagi menjadi buruh batik, tak lagi menjadi wong cilik. Nama Tuginem pupus sudah karena ia kini resmi menjadi Bu Bei, dan itu berarti menjadi priayi, menjadi pengatur rumah tangga Ndalem Ngaben Sestrokusuman.
Apa yang dilakukan Pak Bei dengan mengawini Tuginem yang buruh batik sesungguhnya merupakan tindakan yang menyimpang dari tradisi keraton. Ia sadar bahwa penyimpangan itu bukan tanpa mendatangkan sikap antipati, bahkan kecaman dari keluarga keraton lainnya yang kukuh mempertahankan tradisi keningratannya. Nyatanya, semua itu akhirnya berlalu sejalan dengan waktu. Pak Bei sendiri merasa cukup bahagia. Dari perkawinan itu, satu per satu bayi dilahirkan. Mula-mula Wahyu Dewabrata, kemudian berturut-turut Lintang Dewanti, Bayu Dewasunu, Ismaya Dewakusuma, Wening Dewamurti, dan si bungsu Subandini Dewaputri Sestrokusuma yang lalu biasa dipanggil Ni. Begitulah, Bu Bei berhasil mengemban wangsit Sang Maha Pencipta. Baginya, Pak Bei adalah sosok seorang pelindung. Bu Bei percaya bahwa perlindungannya akan selalu mendatangkan kebaikan. Oleh karena itu, ia pun merasa berkewajiban untuk menjadikan pelindungnya benar-benar kukuh kuat sebagai tonggak keluarga. Kesadaran ini pula yang menyebabkan Bu Bei harus mampu mengatur segala pengeluaran dan pemasukan yang memungkinkan sang pelindung tetap berdiri kokoh sebagai tonggak keluarga.  Menurut Bu Bei, tugas suaminya sudah cukup berat. Sejumlah keluarga yang tinggal di Ndalem Ngabean Sestrokusuman adalah juga tugas suaminya untuk terus menghidupi mereka turun temurun, seperti juga yang diterima orang tua Bu Bei turun temurun. Semua keluarga abdi dalem itu harus menerima perhatian dan perlakuan yang sebaik-baiknya. Untuk itulah Bu Bei merasa perlu untuk tetap menghidupkan usaha batik keluarga Sestrokusuma. Pasar Klewer adalah basisnya. Di sini Bu Bei tampil sebagai wanita karier. “… Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah, setia, bekti, penuh kasih sayang, dan juga ketakutan, adalah juga Bu Bei yang galak dan bisa memaki polisi, yang bisa bercanda, mencolek dan dicolek, dan dengan berani memutuskan masalah-masalah yang sulit. Mengambil keputusan sampai dengan ratusan ribu rupiah dalam satu tarikan napas” (Canting, 2007: 50-51).
Begitulah perjalanan hidup Bu Bei yang dalam situasi yang berbeda dapat memerankan perannya dengan sama baik, yakni sebagi istri dan ibu yang berbakti sepenuhnya untuk kepentingan keluarga, serta sebagai wanita karier yang harus gesit, tegas, dan berani, tanpa ragu-ragu memutuskan dan menyelesaikan segala sesuatunya sendiri. Kedua peran itu pula yang mengantarkan anak-anaknya sampai pada cita-cita yang dirintis mereka masing-masing. Wahyu Dewabrata menjadi dokter, Lintang Dewanti menjadi istri kolonel, Bayu Dewasunu menjadi dokter gigi, Ismaya Dewakusuma menjadi insinyur, Wening Dewamurti menjadi doktoranda yang kemudian menjadi kontraktor terkemuka, dan si bungsu Subandini Dewaputri Sestrokusuma menjadi sarjana farmasi.  Melihat keadaan Bu Bei yang semakin dimakan usia dan melihat usaha batik Canting yang telah mengantarkan anak-anaknya menjadi manusia terhormat makin mundur, anak-anaknya meminta Bu Bei untuk tidak mengurusi pembatikan lagi. Canting kalah bersaing dengan usaha batik yang lebih modern, printing. Tiba-tiba Ni mempunyai keinginan untuk melanjutkan usaha batik ibunya. ”Sejak pertama kali mendengar gagasan bahwa Bu Bei diminta untuk tidak mengurusi pembatikan lagi, Ni merasa terpanggil untuk bertindak. Mengambil alih perusahaan batik” (Canting, 2007: 199). Keinginan Ni diungkapkan pada saat ulang tahun Pak Bei yang ke-64 dan pada saat itulah mulai terjadi geger melanda keluarga besar Sestrokusuma.  Ketika masih dalam kandungan, Ni sudah diragukan oleh Pak Bei sebagai putri kandungnya dan keinginan yang diungkapkan Ni tersebut membuat seluruh keluarga Sestrokusuma kaget terutama Bu Bei.. “Saya tidak bisa bicara sekarang ini. Mengenai anak yang kamu kandung, saya tak tahu. Kalau nanti besarnya jadi buruh batik, ia memang anak buruh batik. Memang darah buruh batik yang mengalir, bukan darah Sestrokusuman (Canting, 2007: 10). Bu Bei merasa tertusuk hatinya, ketakutan lama tiba-tiba mengembang kembali. Sesuatu yang paling tidak ingin didengar. Bu Bei kemudian jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Persoalan ternyata tidak berhenti sampai di situ. Masalah datang silih berganti. Pak Bei tetap tampil meyakinkan, menyelesaikan masalah. Namun, di antara anak-anaknya mulai timbul persaingan yang tidak sehat, pertikaian terselubung terjadi dan masing-masing ingin memperlihatkan peranannya yang lebih menonjol. Mereka juga kurang setuju jika Ni melanjutkan usaha pembatikan keluarga. Ni tetap kukuh pada panggilan hati nuraninya. Ia harus mealnjutkan usaha batik yang pernah dirintis ibunya, meskipun perusahaan-perusahaan batik yang lebih modern dan bermodal raksasa menggeser usaha batik tradisional. Ni masih yakin pada bayang-bayang kebesaran masa lalu, kebesaran usaha batik Canting. Ia juga yakin merasa mampu untuk menghidupkannya lagi. Namun, kenyataan berbicara lain. Batik Canting tetap tenggelam. Surut oleh perusahaan perusahaan yang lebih besar. Sampai akhirnya Ni jatuh sakit dan hampir dijemput maut. Pada saat itulah Ni sadar, betapa Ramanya dan kakak-kakaknya, serta semua buruh batiknya sungguh-sungguh mencintainya. Hal ini telah melahirkan sikap baru dalam dirinya. ”Canting tak perlu mengangkat bendera tinggi-tinggi. Bahkan tak perlu berbendera ... Karena Canting sekarang ini bukan cap yang dulu adiluhung oleh sebagian besar pemakainya” (Canting, 2007: 402).
Tak ada pilihan lain bagi Ni jika ingin tetap menghidupkan kembali usaha ibunya selain  ia harus melebur diri. ”Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit. Bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan memusuhi. Tapi dengan jalan melebur diri. Ketika ia melepaskan cap Canting, ketika itulah usaha batiknya jalan. Ketika ia melepaskan nama besar Sestrokusuman, ketika itulah ia melihat harapan” (Canting, 2007: 403).
Begitulah sikap tersebut telah menghidupkan kembali harapannya. Ni berangsur-angsur sembuh. Ia lalu menikah dengan Himawan tepat pada hari selamatan setahun meninggalnya Bu Bei. Kakak-kakaknya ikut membantu memasarkan atau mempromosikan batik kepada turis-turis asing. Para buruh dan abdi dalem kembali merasakan kehidupan yang begitu hidup. Pada saat dua tahun selamatan Bu Bei, anak Ni dan Himawan lahir dan diberi nama Canting Daryono.
Sinopsis Para Priyayi karya Umar Kayam
“Para Priyayi”

Priayi adalah golongan masyarakat yang memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat. Sastrodarsono adalah anak petani desa yang berhasil menapakkan kakinya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu priayi. Keluarga Sastrodarsono adalah keluarga yang berjuang membentuk keluarga priayi dari keluarga petani. Jiwa priayi yang ada pada Sastrodarsono dan Ngaisah berusaha diturunkan kepada anak-anaknya. Anak-anak mereka bernama Noegroho, Hardojo, dan Soemini. Mereka pun berhasil mendidik anak-anaknya hingga menjadi priayi-priayi modern yang berhasil. Sebagai keluarga priayi Jawa mereka selalu membuka hati untuk menerima anggota baru yang masih saudara. Sebagai priayi mereka tidak akan menikmati sendiri rezeki yang diberikan Tuhan. Hal ini terbukti saat mereka menampung keponakan-keponakan baik dari Sastrodarsono maupun Ngaisah. Mereka berusaha mendidik keponakan-keponakannya dengan baik walaupun hal itu dapat dikatakan kurang berhasil. Salah satu keponakan mereka yang gagal dibimbing adalah Soenandar. Tabiat Soenandar yang buruk hanya menimbulkan masalah dan puncaknya pada saat ia menghamili Ngadiyem, gadis Desa Wanalawas. Kemudian lahirlah Wage yang merupakan anak dari Ngadiyem yang tidak dinikahi oleh Soenandar.  Sebagai priayi yang bertanggung jawab, Sastrodarsono mengangkat Wage menjadi cucunya dan diganti namanya menjadi Lantip. Lantip anak haram dari Soenandar tampil sebagai sosok pemuda yang memiliki jiwa seperti Sastrodarsono. Atas didikan Sastrodarsono yang banyak menggunakan filosofi masyarakat Jawa yang penuh dengan petuah-petuah bermanfaat, menjadikan Lantip sebagai pemuda yang mengerti betul makna priayi yang sebenarnya. Dalam segala kesempatan, Lantip sering tampil sebagai pahlawan berkat didikan Sastrodarsono.  Lantip dapat diandalkan dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi keluarga besar Sastrodarsono. ”Beberapa hari kemudian Lantip datang. Anak ini selalu dapat kami andalkan … Maka itulah dia kami usulkan kepada Sus untuk mendampinginya membereskan urusan Marie ”(Para Priyayi, 1992: 231).
Ia dengan caranya yang arif dan bijaksana dapat menyelesaikan masalah-masalah yang menimpa cucu-cucu Sastrodarsono. Lantip membantu keluarga Noegroho ketika menyelesaikan permasalahan Marie yang terlanjur mengandung dan hendak menikah dengan Maridjan. Lantip juga membantu Harimurti dalam upaya mengeluarkannya dari penjara karena terlibat gerakan Lekra. Lantip dengan caranya sendiri mampu menerjemahkan makna dari priayi. Pada saat Lantip mendapat kepercayaan untuk menyampaiakn pidato saat kematian Sastrodarsono, menunjukkan bahwa ia dapat meresapi makna dari priayi.




















Daftar pustaka
http://www.academia.edu/5575323/Kajian_intekteks
https://www.academia.edu/4892993/TEORI_INTERTEKSTUAL_Oleh_Alfian_Rokhmansyah
http://yulis-majidatul-fib12.web.unair.ac.id/artikel_detail-87223-Umum-teori%20intertekstualitas.html
http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://eprints.ums.ac.id/26623/2/BAB_I.pdf&ved=2ahUKEwiUkPY0m8bZAhUHqY8KHf9lB__oQFjAAegQIBxAB&usg=AOvVaw3C87Y5drxXwM3FQJJT7lY7




No comments:

Post a Comment