Teori Intertekstual - Kajian Drama Indonesia
Pengertian Intertekstual
Pendekatan intertekstual pertama diilhami oleh gagasan
pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada
sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa
sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada
kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan
atau kutipan (Noor 2007: 4-5).
Kemudian, pendekatan intertekstual tersebut diperkenalkan
atau dikembangkan oleh Julia Kristeva. Menurut Kristeva, Intertekstualitas
merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva (Worton 1990:1).
Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan
teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan,
tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66).
Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan
transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan
mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan
karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu
mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh.
Prinsip intertekstual
Intertekstual menurut Kristeva mempunyai prinsip dan kaidah tersendiri
dalam penelitian karya sastra, antara lain:
(1) Interteks melihat hakikat sebuah teks yang di dalamnya terdapat berbagai
teks;
(2) Interteks menganalisis sebuah karya itu berdasarkan aspek yang membina
karya tersebut, yaitu unsur-unsur struktur seperti tema, plot, watak, dan
bahasa, serta unsur-unsur di luar struktur seperti unsur sejarah, budaya, agama
yang menjadi bagian dari komposisi teks;
(3) Interteks mengkaji keseimbangan antara aspek dalaman dan aspek luaran
dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran teks-teks tersebut;
(4) Teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu tercipta berdasarkan
karya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada teks yang dibaca,
tetapi meneliti teks-teks lainnya untuk melihat aspek-aspek yang meresap ke
dalam teks yang ditulis atau dibaca atau dikaji;
(5) Yang dipentingkan dalam interteks adalah menghargai pengambilan, kehadiran,
dan masuknya unsur-unsur lain ke dalam sebuah karya (melalui napiah, 1994: xv).
Prinsip
dasar intertekstualitas ( pradopo, 1997 : 228) adalah karya hanya dapat
dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi
hipogram. hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran
berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara. Dalam
kaitan ini, sastrawan yang lahir berikut adalah reseptor dan transformator
karya sebelumnya. Dengan demikian mereka
selalu menciptakan karya asli, karena dalam mencipta selalu diolah dengan
pandangannya sendiri, dengan horison dan atau harapannya sendiri.
Tujuan intertekstual
Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah
untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya (karya sastra).
Penulisan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitanya dengan unsure
kesejarahannya, sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan
dengan unsur kesejerahan itu (Teeuw, 1983:62-5)
Langkah langkah intertekstual
Ratna (2011:174) menyatakan bahwa secara
praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara yaitu:
a) membaca dua teks atau lebih secara
berdampingan pada saat yang sama,
b) hanya membaca sebuah teks, tetapi
dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa dalam rangka
membawa teks berhubungan dan berbatasan dengan teks lain, menurut Culler
vraisembable dapat dibedakan menjadi 5 tingkat yang membantu teks dapat
dipahami. Kelima tingkat tersebut ialah sebagai berikut.
1. Teks yang diberikan secara sosial (wujudnya dunia nyata);
2. Teks kurtural secara umum (berupa prinsip-prinsip kurtural yang ada di
masyarakat; misalnya tata cara);
3. Teks atau konvensi suatu genre kesusastraan atau hal-hal lain yang sifatnya
tiruan;
4. Sikap terhadap hal-hal tiruan (teks secara eksplisit menyatakan sikapnya
terhadap vraisembable jenis ke-3 di atas dalam memperkuat otoritasnya);
5. Vraisembable yang rumit dari intertekstualitas yang khas dikarenakan suatu
karya menempatkan karya lain sebagai tempat berangkat dan harus dipahami dalam
hubungannya dengan teks tersebut. (Kajian Intertekstual Dan Nilai Pendidikan
Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto
Dengan Para Priyayi Karya Umar Kayam-2009-33)
Contoh pendekatan intertekstual
Novel Canting dan Para Priyayi merupakan novel yang berlatar belakang
kebudayaan Jawa, dengan struktur, persamaan dan perbedaan, serta nilai
pendidikan yang terkandung dalam kedua novel tersebut sebagai berikut.
Struktur Novel Canting
Struktur novel Canting, meliputi:
a. Tema, yaitu kehidupan keluarga besar priayi Jawa dengan
persoalan-persoalan keluarga yang begitu kompleks.
b. Alur, berdasarkan urutan waktu, novel ini beralur campuran, sedangkan
berdasarkan kepadatan cerita, novel ini beralur longgar.
c. Penokohan dan perwatakan, digambarkan melalui tiga dimensi, yaitu
fisiologis, psikologis, dan sosiologis.
1) Pak Bei, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh
sentral, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan
tokoh bulat.
2) Bu Bei, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh
pembantu, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan
tokoh pipih atau datar.
3) Ni, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh
sentral, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan
tokoh bulat.
d. Latar, meliputi latar tempat, waktu, dan sosial.
1) Latar tempat, meliputi: Surakarta, yaitu Ndalem Ngabean Sestrokusuman,
Taman Ronggowarsito, dan Pasar Klewer.
2) Latar waktu, yaitu sebelum dan sesudah masa kemerdekaan, hanya saja
dalam novel ini latar waktu tidak diungkap secara intens karena fokus dalam
novel ini adalah masalah keluarga.
3) Latar sosial, yaitu kehidupan di lingkungan keraton Surakarta, terutama
Ndalem Ngabean Sestrokusuman yang berdiri batik cap Canting.
e. Sudut pandang pengarang, pengarang menggunakan sudut pandang orang
ketiga (third person narrator).
f. Amanat, yaitu kita harus dapat menerima kenyataan bahwa kini zaman telah
berubah, kita harus mengikuti perubahan zaman dan menyesuaikan diri dengan
perubahan itu. Cara yang terbaik untuk menghadapi perubahan zaman yaitu dengan
melebur diri tanpa harus kehilangan identitas kebudayaan kita.
Struktur Novel Para Priyayi
Struktur novel Para Priyayi, meliputi:
a. Tema, yaitu mengenai kehidupan keluarga besar priayi Jawa dengan
persoalan yang melingkupinya.
b. Alur berdasarkan urutan waktu, novel ini beralur campuran, sedangkan
berdasarkan kepadatan cerita, novel ini beralur longgar.
c. Penokohan dan perwatakan, digambarkan melalui tiga dimensi, yaitu
fisiologis, psikologis, dan sosiologis.
1) Lantip, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh
sentral, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan
tokoh pipih atau datar.
2) Sastrodarsono, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan
tokoh sentral, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita
merupakan tokoh bulat.
3) Ngaisah, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh
pembantu, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan
tokoh pipih atau datar.
4) Noegroho, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh
utama, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan
tokoh bulat.
5) Hardojo, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan tokoh
utama, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita merupakan
tokoh bulat.
6) Harimurti, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita merupakan
tokoh utama, sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita
merupakan tokoh bulat.
d. Latar, meliputi latar tempat, waktu, dan sosial.
1) Latar tempat, meliputi: Wanagalih dan sekitarnya (Kedungsimo, Jogorogo,
Ploso, Karangdompol, dan Wanalawas), Wonogiri, Solo, Yogyakarta, dan Jakarta.
2) Latar waktu, yaitu masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, masa
kemerdekaan, dan sesudah kemerdekaan. Waktu penceritaan novel ini panjang
meliputi tiga generasi keturunan tokoh-tokohnya.
3) Latar sosial, yaitu gambaran sosial masyarakat Jawa yang mempunyai adat
dan kebiasaan yang cukup unik, khususnya daerah Wanagalih (Ngawi) Jawa Timur.
e. Sudut pandang pengarang, pengarang menggunakan sudut pandang orang
pertama (first person narrator).
f. Amanat, yaitu semangat kemajuan, pengabdian kepada masyarakat tanpa
pamrih, semangat kerukunan dan kekeluargaan. Semangat tersebut hendaklah
ditumbuhkan dari kalangan wong cilik agar mereka pun ikut memberi warna pada
kalangan priayi.
Persamaan antara Novel Canting dan Para
Priyayi
Persamaan kedua novel ini terdapat dalam beberapa aspek, yaitu tema, alur,
penokohan dan perwatakan, dan latar, baik tempat, waktu maupun sosial.
no
|
aspek
|
canting
|
Para priyai
|
|
1
|
tema
|
Kehidupan keluarga di Jawa
|
Kehidupan keluarga besar priyai Jawa
|
|
2
|
Alur
|
|||
Berdasarkan urutan waktu
|
Campuran
|
Campuran
|
||
Berdasarkan kepadatan cerita
|
Longgar
|
Longgar
|
||
3
|
Penokohan dan perwatakan
|
|||
Berdasarkan peranan dan fungsi tokoh dalam
cerpen
|
Pak Bei : tokoh sentral
|
Sastrodarsono : tokoh sentral
|
||
Ni : tokoh sentral
|
Lantip : tokoh sentral
|
|||
4
|
Latar
|
|||
Latar tempat
|
Surakarta (pusat cerita)
|
Surakarta
(tempat perkembangan dari perjalanan hidup keluarga besar Sastrodarsono,
tempat Hardojo meniti karier di Mangkunegaran)
|
||
Latar waktu
|
Sebelum dan sesudah masa kemerdekaan
|
Sebelum dan sesudah masa kemerdekaan
|
||
Latar social
|
Masyarakat Jawa, khususnya Surakarta
|
Masyarakat Jawa, tidak hanya Surakarta,
tetapi juga Wanagalih dan Yogyakarta.
|
||
Perbedaan antara novel Canting dan Para
Priyayi
Perbedaan kedua novel ini terletak dalam beberapa aspek, yaitu penokohan
dan perwatakan, sudut pandang pengarang, dan amanat.
no
|
aspek
|
canting
|
Para priyai
|
1
|
Penokohan dan perwatakan
|
||
|
Pekerjaan
|
Pak bei : abdi keraton
|
Sastridarsono : mantra guru sekolah desa
|
|
karakter
|
Ni tokoh bulat
|
Lantip tokoh pipih
|
2
|
Sudut pandang pengarang
|
Orang ketiga
|
Orang pertama
|
3
|
amanat
|
Kita harus
dapat menerima kenyataan bahwa kini
zaman telah berubah, cara
yang terbaik
untuk menghadapi perubahan zaman yaitu dengan melebur diri tanpa harus
kehilangan
identitas kebudayaan kita.
|
Semangat
kemajuan, pengabdian kepada masyarakat tanpa pamrih, semangat kerukunan dan
kekeluargaan hendaklah ditumbuhkan dari kalangan wong cilik agar mereka pun
ikut memberi warna pada kalangan priayi.
|
Sinopsis Canting karya Arswendo Atmowiloto
“Canting”
Entah bagaimana perasaan orang tuanya ketika Tuginem akan
dijadikan istri Raden Ngabehi Sestrokusuma. Sebagai buruh batik yang secara
turun temurun mengabdi pada keluarga Sestrokusuma, orang tua Tuginem hanya
percaya bahwa memang sudah demikianlah takdir yang digariskan Gusti Allah
hingga membawa anak gadisnya menjadi seorang priayi. Bagi Tuginem, peruntungan
seperti itu makin menyadarkan dirinya akan arti sebuahh pengabdian. Berbakti
lahir dan batIn kepada suami, dalam segalagalanya. Maka ketika resmi menjadi
istri Raden Ngabehi Sestrokusuma, yang biasa dipanggil Pak Bei, yang ada dalam
pikiran Tuginem adalah berbakti dan menyenangkan suami. Ia pun tak lagi menjadi
buruh batik, tak lagi menjadi wong cilik. Nama Tuginem pupus sudah karena ia
kini resmi menjadi Bu Bei, dan itu berarti menjadi priayi, menjadi pengatur
rumah tangga Ndalem Ngaben Sestrokusuman.
Apa yang dilakukan Pak Bei dengan mengawini Tuginem yang
buruh batik sesungguhnya merupakan tindakan yang menyimpang dari tradisi
keraton. Ia sadar bahwa penyimpangan itu bukan tanpa mendatangkan sikap
antipati, bahkan kecaman dari keluarga keraton lainnya yang kukuh
mempertahankan tradisi keningratannya. Nyatanya, semua itu akhirnya berlalu
sejalan dengan waktu. Pak Bei sendiri merasa cukup bahagia. Dari perkawinan
itu, satu per satu bayi dilahirkan. Mula-mula Wahyu Dewabrata, kemudian
berturut-turut Lintang Dewanti, Bayu Dewasunu, Ismaya Dewakusuma, Wening
Dewamurti, dan si bungsu Subandini Dewaputri Sestrokusuma yang lalu biasa
dipanggil Ni. Begitulah, Bu Bei berhasil mengemban wangsit Sang Maha Pencipta.
Baginya, Pak Bei adalah sosok seorang pelindung. Bu Bei percaya bahwa
perlindungannya akan selalu mendatangkan kebaikan. Oleh karena itu, ia pun
merasa berkewajiban untuk menjadikan pelindungnya benar-benar kukuh kuat
sebagai tonggak keluarga. Kesadaran ini pula yang menyebabkan Bu Bei harus
mampu mengatur segala pengeluaran dan pemasukan yang memungkinkan sang
pelindung tetap berdiri kokoh sebagai tonggak keluarga. Menurut Bu Bei, tugas suaminya sudah cukup
berat. Sejumlah keluarga yang tinggal di Ndalem Ngabean Sestrokusuman adalah
juga tugas suaminya untuk terus menghidupi mereka turun temurun, seperti juga
yang diterima orang tua Bu Bei turun temurun. Semua keluarga abdi dalem itu
harus menerima perhatian dan perlakuan yang sebaik-baiknya. Untuk itulah Bu Bei
merasa perlu untuk tetap menghidupkan usaha batik keluarga Sestrokusuma. Pasar
Klewer adalah basisnya. Di sini Bu Bei tampil sebagai wanita karier. “… Bu Bei
yang memijati kaki suaminya dengan tabah, setia, bekti, penuh kasih sayang, dan
juga ketakutan, adalah juga Bu Bei yang galak dan bisa memaki polisi, yang bisa
bercanda, mencolek dan dicolek, dan dengan berani memutuskan masalah-masalah
yang sulit. Mengambil keputusan sampai dengan ratusan ribu rupiah dalam satu
tarikan napas” (Canting, 2007: 50-51).
Begitulah perjalanan hidup Bu Bei yang dalam situasi yang
berbeda dapat memerankan perannya dengan sama baik, yakni sebagi istri dan ibu
yang berbakti sepenuhnya untuk kepentingan keluarga, serta sebagai wanita
karier yang harus gesit, tegas, dan berani, tanpa ragu-ragu memutuskan dan
menyelesaikan segala sesuatunya sendiri. Kedua peran itu pula yang mengantarkan
anak-anaknya sampai pada cita-cita yang dirintis mereka masing-masing. Wahyu
Dewabrata menjadi dokter, Lintang Dewanti menjadi istri kolonel, Bayu Dewasunu
menjadi dokter gigi, Ismaya Dewakusuma menjadi insinyur, Wening Dewamurti
menjadi doktoranda yang kemudian menjadi kontraktor terkemuka, dan si bungsu
Subandini Dewaputri Sestrokusuma menjadi sarjana farmasi. Melihat keadaan Bu Bei yang semakin dimakan
usia dan melihat usaha batik Canting yang telah mengantarkan anak-anaknya
menjadi manusia terhormat makin mundur, anak-anaknya meminta Bu Bei untuk tidak
mengurusi pembatikan lagi. Canting kalah bersaing dengan usaha batik yang lebih
modern, printing. Tiba-tiba Ni mempunyai keinginan untuk melanjutkan usaha
batik ibunya. ”Sejak pertama kali mendengar gagasan bahwa Bu Bei diminta untuk
tidak mengurusi pembatikan lagi, Ni merasa terpanggil untuk bertindak.
Mengambil alih perusahaan batik” (Canting, 2007: 199). Keinginan Ni diungkapkan
pada saat ulang tahun Pak Bei yang ke-64 dan pada saat itulah mulai terjadi
geger melanda keluarga besar Sestrokusuma.
Ketika masih dalam kandungan, Ni sudah diragukan oleh Pak Bei sebagai
putri kandungnya dan keinginan yang diungkapkan Ni tersebut membuat seluruh
keluarga Sestrokusuma kaget terutama Bu Bei.. “Saya tidak bisa bicara sekarang
ini. Mengenai anak yang kamu kandung, saya tak tahu. Kalau nanti besarnya jadi
buruh batik, ia memang anak buruh batik. Memang darah buruh batik yang
mengalir, bukan darah Sestrokusuman (Canting, 2007: 10). Bu Bei merasa tertusuk
hatinya, ketakutan lama tiba-tiba mengembang kembali. Sesuatu yang paling tidak
ingin didengar. Bu Bei kemudian jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Persoalan ternyata tidak berhenti sampai di situ. Masalah
datang silih berganti. Pak Bei tetap tampil meyakinkan, menyelesaikan masalah.
Namun, di antara anak-anaknya mulai timbul persaingan yang tidak sehat,
pertikaian terselubung terjadi dan masing-masing ingin memperlihatkan
peranannya yang lebih menonjol. Mereka juga kurang setuju jika Ni melanjutkan
usaha pembatikan keluarga. Ni tetap kukuh pada panggilan hati nuraninya. Ia
harus mealnjutkan usaha batik yang pernah dirintis ibunya, meskipun
perusahaan-perusahaan batik yang lebih modern dan bermodal raksasa menggeser
usaha batik tradisional. Ni masih yakin pada bayang-bayang kebesaran masa lalu,
kebesaran usaha batik Canting. Ia juga yakin merasa mampu untuk menghidupkannya
lagi. Namun, kenyataan berbicara lain. Batik Canting tetap tenggelam. Surut
oleh perusahaan perusahaan yang lebih besar. Sampai akhirnya Ni jatuh sakit dan
hampir dijemput maut. Pada saat itulah Ni sadar, betapa Ramanya dan kakak-kakaknya,
serta semua buruh batiknya sungguh-sungguh mencintainya. Hal ini telah
melahirkan sikap baru dalam dirinya. ”Canting tak perlu mengangkat bendera
tinggi-tinggi. Bahkan tak perlu berbendera ... Karena Canting sekarang ini
bukan cap yang dulu adiluhung oleh sebagian besar pemakainya” (Canting, 2007:
402).
Tak ada pilihan lain bagi Ni jika ingin tetap
menghidupkan kembali usaha ibunya selain
ia harus melebur diri. ”Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan
menjerit. Bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan memusuhi.
Tapi dengan jalan melebur diri. Ketika ia melepaskan cap Canting, ketika itulah
usaha batiknya jalan. Ketika ia melepaskan nama besar Sestrokusuman, ketika
itulah ia melihat harapan” (Canting, 2007: 403).
Begitulah sikap tersebut telah menghidupkan kembali
harapannya. Ni berangsur-angsur sembuh. Ia lalu menikah dengan Himawan tepat
pada hari selamatan setahun meninggalnya Bu Bei. Kakak-kakaknya ikut membantu
memasarkan atau mempromosikan batik kepada turis-turis asing. Para buruh dan
abdi dalem kembali merasakan kehidupan yang begitu hidup. Pada saat dua tahun
selamatan Bu Bei, anak Ni dan Himawan lahir dan diberi nama Canting Daryono.
Sinopsis Para Priyayi karya Umar Kayam
“Para Priyayi”
Priayi adalah golongan masyarakat yang memiliki kedudukan
tinggi dalam masyarakat. Sastrodarsono adalah anak petani desa yang berhasil
menapakkan kakinya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu priayi. Keluarga
Sastrodarsono adalah keluarga yang berjuang membentuk keluarga priayi dari
keluarga petani. Jiwa priayi yang ada pada Sastrodarsono dan Ngaisah berusaha
diturunkan kepada anak-anaknya. Anak-anak mereka bernama Noegroho, Hardojo, dan
Soemini. Mereka pun berhasil mendidik anak-anaknya hingga menjadi priayi-priayi
modern yang berhasil. Sebagai keluarga priayi Jawa mereka selalu membuka hati
untuk menerima anggota baru yang masih saudara. Sebagai priayi mereka tidak
akan menikmati sendiri rezeki yang diberikan Tuhan. Hal ini terbukti saat
mereka menampung keponakan-keponakan baik dari Sastrodarsono maupun Ngaisah.
Mereka berusaha mendidik keponakan-keponakannya dengan baik walaupun hal itu
dapat dikatakan kurang berhasil. Salah satu keponakan mereka yang gagal
dibimbing adalah Soenandar. Tabiat Soenandar yang buruk hanya menimbulkan
masalah dan puncaknya pada saat ia menghamili Ngadiyem, gadis Desa Wanalawas.
Kemudian lahirlah Wage yang merupakan anak dari Ngadiyem yang tidak dinikahi
oleh Soenandar. Sebagai priayi yang bertanggung
jawab, Sastrodarsono mengangkat Wage menjadi cucunya dan diganti namanya
menjadi Lantip. Lantip anak haram dari Soenandar tampil sebagai sosok pemuda
yang memiliki jiwa seperti Sastrodarsono. Atas didikan Sastrodarsono yang
banyak menggunakan filosofi masyarakat Jawa yang penuh dengan petuah-petuah
bermanfaat, menjadikan Lantip sebagai pemuda yang mengerti betul makna priayi
yang sebenarnya. Dalam segala kesempatan, Lantip sering tampil sebagai pahlawan
berkat didikan Sastrodarsono. Lantip
dapat diandalkan dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi keluarga besar
Sastrodarsono. ”Beberapa hari kemudian Lantip datang. Anak ini selalu dapat
kami andalkan … Maka itulah dia kami usulkan kepada Sus untuk mendampinginya
membereskan urusan Marie ”(Para Priyayi, 1992: 231).
Ia dengan caranya yang arif dan bijaksana dapat
menyelesaikan masalah-masalah yang menimpa cucu-cucu Sastrodarsono. Lantip
membantu keluarga Noegroho ketika menyelesaikan permasalahan Marie yang
terlanjur mengandung dan hendak menikah dengan Maridjan. Lantip juga membantu
Harimurti dalam upaya mengeluarkannya dari penjara karena terlibat gerakan
Lekra. Lantip dengan caranya sendiri mampu menerjemahkan makna dari priayi.
Pada saat Lantip mendapat kepercayaan untuk menyampaiakn pidato saat kematian
Sastrodarsono, menunjukkan bahwa ia dapat meresapi makna dari priayi.
Daftar pustaka
http://www.academia.edu/5575323/Kajian_intekteks
https://www.academia.edu/4892993/TEORI_INTERTEKSTUAL_Oleh_Alfian_Rokhmansyah
http://yulis-majidatul-fib12.web.unair.ac.id/artikel_detail-87223-Umum-teori%20intertekstualitas.html
http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://eprints.ums.ac.id/26623/2/BAB_I.pdf&ved=2ahUKEwiUkPY0m8bZAhUHqY8KHf9lB__oQFjAAegQIBxAB&usg=AOvVaw3C87Y5drxXwM3FQJJT7lY7
No comments:
Post a Comment