Nama : Ajeng Illa
Semester 4
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Majalengka
Tugas : Kajian Intertekstual dalam Naskah Drama : Malin
Kundang dan Batu Menangis
Mata Kuliah : Kajian Drama Indonesia
1. Pengertian Intertekstual
Pendekatan intertekstual pertama diilhami oleh
gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat
besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan
pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau
cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra,
parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5).
Kemudian, pendekatan intertekstual tersebut
diperkenalkan atau dikembangkan oleh Julia Kristeva. Menurut Kristeva,
Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva
(Worton 1990:1). Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan
suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah
mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari
teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari
kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis,
pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar
untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan
penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang
utuh.
2.
Langkah langkah intertekstual
Ratna (2011:174) menyatakan bahwa secara
praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara yaitu:
a)
Membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat
yang sama,
b)
Hanya membaca sebuah teks, tetapi dilatarbelakangi oleh
teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.
3. Naskah Drama Malin Kundang dan Batu
Menangis
Malin Kundang
Pada jaman dahulu kala di Pantai Air Manis, Padang Sumatera Barat ada
seorang janda bernama Mande Rubayah, janda tersebut mempunyai seorang anak laki
laki bernama Malin Kundang Kundang. Malin Kundang sangat disayangi ibunya
lantaran sejak ia kecil sudah ditinggal oleh sang ayah. Malin Kundang pun telah
tumbuh dewasa , dan ia merasa harus bisa merubah kehidupan ekonomi keluarganya.
Pada suatu hari Rasyid, yang tidak lain adalah teman Malin Kundang mengetahui
bahwa ada kapal besar yang sedang bersandar dipantai Air Manis dan ia berniat
mengajak Malin Kundang untuk ikut merantau bersamanya.
Rasyid : “Asalamualaikum Wr. Wb”
Malin Kundang : “Walalaikum Salam Wr. Wb. Oh kamu,
ada apa Rasyid?”
Rasyid :
“Ada kabar baik untuk kita berdua. Saya tadi melihat ada sebuah kapal besar
yang sedang bersandar di pantai Air Manis siapa tau kita bisa ikut merantau
lewat kapal itu, maukah engkau ikut merantau denganku?”
Rasyid : “Bagaimana kalau
besok pagi?”
Malin Kundang : “Ya sudah lebih cepat lebih baik,
tetapi saya harus meminta restu kepada ibuku dulu.”
Rasyid : “Baik besok saya
tunggu kau di dermaga jam 9”
Malin Kundang : “Iya terimakasih sobat.”
Malam harinya Malin Kundang segera meminta restu kepada ibunya yang baru
saja pulang bekerja.
Malin Kundang : “Ibu saya mau merubah nasib kita”
Mande : “Bagaimana caranya?”
Malin Kundang : “Tadi pagi saya di beri tahu Rasyid
ada kapal yang bersandar di pantai desa kita jadi kami akan pergi merantau
lewat kapal itu”
Mande : “Malin Kundang,
apakah kau tega meninggalkan ibumu yang sudah tua ini sendirian?”
Malin Kundang : “Malin Kundang juga tidak tega,
tapi Malin Kundang juga ingin merubah nasib kita dan menjadi kaya. Malin
Kundang sudah bosan hidup miskin terus menerus bu.”
Mande : “Ya sudah Malin
Kundang kalau memang demikian keinginanmu, ibu juga menginginkan agar kau menjadi
orang kaya dan sukses, ibu hanya dapat mendoakan supaya engkau berhasil. Kapan
engkau akan berangkat, anakku?”
Malin Kundang : “Malin Kundang berangkat besok pagi
bu.”
Mande : “Secepat itukah nak,
kau meninggalkan ibu sendirian?”
Malin Kundang : “Iya bu. Doakan Malin Kundang agar
selamat sampai tujuan.”
Keesokan harinya, Malin Kundang disertai oleh ibunya dan Rasyid pergi
menuju ke pantai desa mereka, tempat kapal besar itu bersandar.
Mande : “Berhati-hatilah
Malin Kundang! Doa Ibu akan selalu menyertaimu”.
Malin Kundang : “Baik ibu! Tunggulah Malin Kundang
pulang dengan harta yang cukup untuk kita berdua.”
Begitulah, Malin Kundang dan Rasyid berangkat menuju ke tanah perantauan.
Sedangkan, ibu Malin Kundang tetap tinggal di Kampung Pantai Air Manis.
Ketika tiba di tempat perantauan, Rasyid dan Malin Kundang beristirahat di
sebuah warung.
Malin Kundang : “Bagaimana kita, kita akan kerja
apa?”
Rasyid : “Tidak tahu Malin
Kundang, saya juga sedang memikirkannya.”
Tiba-tiba seseorang
di warung tersebut mendengar percakapan Malin Kundang dan Rasyid.
Saudagar : “Apakah kalian benar
sedang mencari pekerjaan?”
Rasyid : “Benar, Tuan!”
Saudagar : “Kebetulan saya sedang
mencari 2 orang pekerja. Apakah kalian mau bekerja di tempatku?”
Rasyid : “Tentu saja kami mau
Tuan. Kapan kami dapat mulai bekerja?”
Saudagar : “Kalian bisa mulai
bekerja besok pagi di rumah saya.”
Malin Kundang : “Rumah Tuan dimana?”
Saudagar : “Mari ikutlah denganku.”
Malin Kundang dan Rasyid ikut saudagar pergi kerumahnya. Saudagar tersebut
menyewakan salah satu kamar di rumahnya untuk di tinggali oleh Malin Kundang
dan Rasyid. Pada keesokan harinya mereka mulai bekerja dan diawasi terus oleh
saudagar, dan rupanya Malin Kundang lebih giat dan rajin jika di bandingkan
dengan Rasyid dan sang saudagar pun menyadari hal itu.
Hingga kemudian anak
saudagar yang bernama putri datang dan melihat kedua karyawan baru ayahnya itu,
dan rupanya putri juga kagum dengan wajah rupawan yang dimiliki Malin Kundang
serta kerajinannya hingga akhirnya putri pun jatuh cinta pada pandangan
pertama.
Putri : “Ayah siapa nama
karyawan baru itu?” .
Saudagar : “Yang mana?”
Putri : “Yang rajin dan
tampan itu.”
Saudagar : “Oh itu namanya Malin
Kundang”
Putri : “Oh rupanya
namanya Malin Kundang”
Saudagar : “Memangnya ada apa ?”
Putri : “Tidak ada apa-apa
Ayah, putri cuma bertanya saja.”
Saudagar : “Oh ya sudah.”
Putri : “Baik Ayah”
Sejak hari itu, Putri semakin kagum dan cinta pada Malin Kundang. Putri
selalu memperhatikan Malin Kundang diam-diam.
Setelah bekerja selama dua tahun pada ayah Putri, Malin Kundang sudah
menjadi orang yang kaya karena dia selalu rajin bekerja. Rasyid dipulangkan ke
kampung halamannya karena dia tidak rajin seperti Malin Kundang. Hubungan Putri
dan Malin Kundang semakin dekat hingga akhirnya mereka menikah.
Sebulan setelah menikah, Malin Kundang dan Putri pergi untuk berdagang di
perkampungan Pantai Air Manis. Ketika Malin Kundang dan Putri sampai di desa
tersebut, Malin Kundang bertemu dengan Rasyid yang kala itu sedang melamun di
pinggir pantai.
Malin Kundang : “Hai Rasyid”
Rasyid : “Oh Malin Kundang
rupanya kau sudah sukses sekali ya.. wah kamu sudah jadi orang kaya sekarang.
Wah.. engkau sudah menjadi suami dari Putri.. Selamat ya!”
Malin Kundang :” Iya syukur Alhamdulillah. Engkau
sih dulunya kerja malas-malasan, jadi kena batunya.”
Rasyid : “Benar apa yang
engkau katakan itu?”
Malin Kundang : “Ya sudah saya mau berdagang dulu”
Rasyid : “Iya.”
Mendengar berita baik tersebut Rasyid
segera mengabari Mande
Rasyid : “Mak Malin Kundang
sudah kembali dia sekarang di dermaga”
Mande : “Benarkah itu ?”
Rasyid : “Ya mak, ayo kita
kesana sekarang.”
Mande dan Rasyid pergi ke dermaga untuk menemui Malin Kundang. Sesampainya
di dermaga.
Mande : “Malin Kundang ,
Malin Kundang (berteriak), Malin Kundang anakku , kau sudah kembali nak. Ibu
sangat merindukanmu.”
Putri : “Kau siapa wanita
tua? Berani mengaku sebagai ibu suamiku?”
Mande : “Saya memang ibunda
Malin Kundang.”
Malin Kundang : “Apa kau gila, saya tidak pernah
mempunyai ibu miskin, tua seperti kau.”
Mande : “Ini Ibumu nak, aku
yang melahirkan dan membesarkanmu, mengapa engkau seperti ini?”
Putri : “Suamiku tidak
punya ibu yang miskin, tua dan dekil sepertimu.”
Malin Kundang : “Kau bukan ibuku! Menjauhlah
dariku, wanita tua” (sambil mendorong Mande dan segera pergi meninggalkan
ibunya).
Kemudian sang ibu menangis sedih, anak yang dilahirkan dan dibesarkannya
tidak mengakuinya.
Air matanya
berlinang. Malin Kundang segera pergi dari desa.
Mande : “Ya Allah, mengapa
anakku satu-satunya seperti itu? Aku yang melahirkan dan membesarkan dia Ya
Allah. Berilah Ia teguranmu, sesungguhnya dia adalah anak yang durhaka!”
Tiba-tiba di tengah perjalanan, badai datang, angin bertiup kencang, gelombang
air laut naik, kilat menyambar-nyambar, kapal pun terguncang.
Malin Kundang : “Ada apa ini? Badai begitu besar.”
Tiba-tiba kilat menyambar Malin Kundang.
Malin Kundang : “Aaaaarccccckkkkhhhhh……!!!!!!!!”
Dan pada saat itu juga berubahlah Malin Kundang menjadi sebuah batu. Malin
Kundang berubah diri menjadi batu akibat telah mendurhakai ibunya.
BATU MENANGIS
Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Kalimantan Barat, Indonesia,
hiduplah seorang janda tua yang bernama ibu Darmi dengan dua orang putrinya
yang cantik jelita, mereka bernama Laras, dan Dewi. Mereka tinggal di sebuah
gubuk yang terletak di ujung desa. Sejak ayah mereka meninggal, kehidupan mereka
menjadi susah. Ayah mereka tidak meninggalkan harta warisan sedikit pun. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka, ibu Darmi bekerja di sawah atau ladang orang
lain sebagai buruh upahan.
Sementara, putri sulungnya Laras, ia bersifat sangat jauh berbeda dengan
kedua adiknya. Dia bersifat sombong, congkak dan durhaka. Selain itu, ia juga
seorang gadis yang malas. Kerjanya hanya bersolek dan mengagumi kecantikannya
di depan cermin. Ia sama sekali tidak mau membantu ibunya mencari nafkah.
Setiap kali ibunya mengajaknya pergi ke sawah, ia selalu menolak.
Laras : “Hmmmmm… Aku memang perempuan
tercantik di negri ini! (sambil berkaca) yayaya… benarkan adikku sayang?”
(menoleh centil kepada adiknya (Dewi) yang sedang menyapu, lalu mendekat) “Ya,
tidak seperti kamu, yang udik (mengangkat dagu Dewi dan mendorongnya) Hahaha”
Dewi : “Iya kak, kakak sangatlah cantik, andai kakak lebih
bisa membantu ibu, pasti kakak akan terlihat lebih cantik” (duduk dan berhenti
menyapu)
Laras : “Apa maksudmu? (melotot)
Katakan sekali lagi!”(menjambak)..
Dewi : “Aduh! (kesakitan) Iya
kak,maafkan aku. Kakak memang cantik, bahkan tetap cantik meski kakak tak
membantu ibu, maafkan aku kak…(masih di
jambak oleh laras)
Laras : (melepaskan jambakannya) Huhhh.
Ya aku maafkan! Tapi, ingatt! Jika kau mengulanginya lagi, aku akan lebih
daripada ini!” (membentak , kembali berkaca)
Kemudian laras meninggalkan adiknya, dan kembali mengagumi kecantikannya di
depan cermin. Ia sama sekali tidak mau membantu ibunya mencari nafkah. Setiap
kali ibunya mengajaknya pergi ke sawah, ia selalu menolak.
Ibu : “Nak! Ayo bantu Ibu bekerja
di sawah”(ajak sang ibu)
Laras : “Ke sawah? Aku tidak mau, nanti kuku dan kulitku kotor
terkena lumpur. Pergi saja sana bersama Dewi. Aku tidak mau.
Ibu :”Laras, memangnya kenapa
kalau kuku dan kulitmu terkena lumpur? Dewi saja yang setiap hari membantu ibu
pergi ke sawah terkena lumpur, Alhamdulillah sampai sekarang ia baik baik saja”
Laras :“Aku bilang tidak, ya tidak! Aku
tidak mau pergi ke sawah. Ibu tidak usah samakan aku dengan si Dewi. Sudah
sudah Ibu saja yang pergi sana sama si Dewi”
Ibu : (duduk sambil mengusap
dada, lemas)
Dewi : “Kakak tidak seharusnya kakak
bicara seperti itu, jika kakak tidak ingin ikut
pergi membantu ibu ke sawah.ya sudahh tidak usah bicara seperti itu.
Laras : “Kauuu!” (menunjuk, mendorong
Dewi dan pergi meninggalkan semuanya)
Dewi :“Ibu, ibu tidak apa apa?”
(merangkul )
Ibu : “Sudah, sudah, ibu tidak
apa-apa, ayo kita pergi ke sawah, nanti
keburu siang” (berdiri)
Dewi : “Ibu, kalau ibu tidak kuat biar
Dewi saja yang pergi ke sawah, ibu istirahat saja di rumah” (mengajak duduk)
Ibu : “Tidak Dewi, (mengusap
kepala Dewi) Ibu baik baik saja. Ayo kita pergi “(berdiri kembali, dan pergi ke
sawah)
Setelah ibu dan kedua adiknya pergi ke sawah, Laras pun kembali ke rumah,
saat ia ingin kembali mempercantik wajahnya, ternyata alat alat kecantikan yang
ia miliki sudah habis, Laras merasa kesal, yang ia lakukan hanya mondar mandir
tak karuan, ia pun terlelah sampai tertidur.
Laras : “Huuggghhh. Alat-alat
kecantikanku sudah habis, (memeriksa alat kecantikannya) kalau begini, bagaimana
bisa aku menjadi wanita tercantik di negeri ini? Aku harus segera membelinya” (dengan kesal ia
menunggu ibunya sampai tertidur).
Hari sudah menjelang siang, Laras pun terbangun dari tidurnya. Ia teringat
dengan alat-alat kecantikannya yang sudah habis, tak lama kemudian ibu dan kedua adiknya datang. Tanpa basi basi
Laras langsung menghampiri ibunya yang baru sampai di pintu dan masih terlihat
lelah.
Laras : “Bu! Alat alat kecantikan ku
sudah habis, ibu harus segera membelikan yang baru”
Dewi : “Kak, ibu baru saja pulang,
seharusnya kakak bisa lebih menghargai
ibu”
Ibu :“Laras, ibu masih lelah,
besok saja ya, pasti ibu belikan” (duduk menghela nafas)
Laras : “Tidak bu! (membentak ibu) Aku
ingin sekarang!”
Dewi : “Kakak!” ( kesal terhadap
kakaknya )
Ibu : “Sudah tidak ak apa apa
Dewi, biar ibu beli sekarang (bicara kepada dewi) tapi Laras, ibu tak tahu alat
kecantikan seperti apa yang kamu maksud, kamu harus ikut”
Laras : “Ya. Aku mau ikut ke pasar,
tapi dengan syarat Ibu, Dewi, dan Dewi harus berjalan di belakangku” (menunjuk
satu persatu orang yang di sebutnya)
Dewi : “Maksud kakak?” (heran)
Laras :
“Iya, kalian berjalan di belakangku. Aku malu berjalan sejajar bersama kalian”
Dewi : “Kenapa harus malu, Kak?
Bukankah kita ini keluarga kandung?”
Laras :“Kalian seharusnya berkaca. Lihat
saja wajah kalian yang tak terurus dan pakaian kalian pun sangat kotor. Apalagi
ibu, sudah keriput, bau. Jelas aku malu!” (sombong )
Walaupun sedih, sang Ibu pun menuruti permintaan putrinya. Setelah itu,
berangkatlah mereka ke pasar secara beriringan. Laras berjalan di depan,
sedangkan Ibunya mengikuti dari berlakang dengan membawa keranjang. Meskipun
mereka satu keluarga, penampilan mereka kelihatan sangat berbeda. Seolah-olah
mereka bukan keluarga yang sama. Laras dengan pakaian yang sangat bagus,
sedangkan sang Ibu dan adiknya kelihatan sangat kusut, dengan pakaian yang
sangat kotor. Di tengah perjalanan, Laras bertemu dengan temannya yang tinggal
di kampung lain.
Juned : “Hai Laras, hendak kemana
kamu?” ( berjabat tangan kepada Laras)”
Laras : “Ke pasar..”(jawab laras pelan)
Juned :
“Lalu, siapa orang di belakangmu itu? Apakah dia ibumu?” (sambil menunjuk
orangtua yang membawa keranjang).
Laras :
“Tentu saja bukan ibuku! Mereka adalah pembantu pembantuku” (jawab Laras dengan
nada sinis).
Juned :“Laras, sudah cantik, baik pula,
mau membawa pembantu pembantunya belanja” (seolah olah percaya dengan jawaban
Laras tadi).
Laras : (tersenyum dan kembali berjalan
)
Dewi :”Sabar ya bu, (memeluk ibu)
Kakak! Kenapa kakak bicara seperti itu pada dia. Kami bukan pembantu! Dan ini
ibu kakak, bukan pembantu.” (sambil berjalan bicara pada kakaknya sejajar)
Laras :”Ssssyyuuutttt….jangan
mempermalukanku!” (menutup mulut Dewi dengan telunjuknya)
Laksana disambar petir ibu Darmi itu mendengar ucapan putrinya. Tapi dia
hanya terdiam sambil menahan rasa sedih. Setelah itu, mereka pun melanjutkan
perjalanan menuju ke pasar. Sesampainya di pasar, seorang pedagang buah buahan
menawarkan dagangannya kepada Laras, dengan ucapannya yang sedikit merayu.
Pedagang : “Ayo mbak buahnya
buahnya!” (menawari) buahnya manis manis kok mbak seperti mbak” ( merayu)
Laras : “Oh, terima
kasih” (sambil memilih buah dan membelinya)
Pedagang : “Silahkan...
silahkan buahnya. Dijamin ko mbak pasti
manis seperti pembelinya”
Laras : “Hai..pembantu pembantuku,
bawalah buah ini”
Pedagang : “Terima kasih mbak…semoga mbaknya
tambah cantik”
Laras : “Ayo pembantuku sekarang
giliran ke tempat alat kecantikan” (sambil menepuk bahu ibunya)
Ibu : (diam sejenak dan terjatuh)
Dewi :”Ibu, ibu kenapa? (memeluk ibu )
Ada apa dengan ibu? Ibu, ibu tidak apa apa?”
Sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaan anaknya. Ternyata ia sedang
berdoa kepada Tuhan agar menghukum anaknya yang durhaka itu. Laras melihat
mulut ibunya komat-komit sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.
Laras :
“Hei! Ibu sedang apa?” (dengan nada membentak dan menoleh kepada ibunya)
Ibu : “Ya, Tuhan! Ampunilah
hambamu yang lemah ini. Hamba sudah
tidak sanggup lagi menghadapi sikap anak hamba yang durhaka ini.
Berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!”
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir
menyambar-nyambar dan suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan deras
pun turun. Pelan-pelan, kaki Laras berubah menjadi batu. Laras pun mulai panik.
Laras : “Ibu! Ibu! Apa yang terjadi
dengan kakiku, Bu,? Adduuhhh keras sekali bu (tanya Laras sambil berteriak.)
Maafkan Laras, Maafkan Laras Bu! Bu Laras tidak akan mengulanginya lagi, Bu!”
(seru Laras semakin panik).
Sang ibu dan adiknya menangis melihat anak dan kakaknya berubah menjadi
batu. Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu tidak
dapat lagi dihindari. Gadis durhaka itu hanya bisa menangis dan menangis
menyesali perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah menjadi batu, sang Ibu
masih melihat air menetes dari kedua mata anaknya. Semua orang yang lewat di
tempat itu juga ikut menyaksikan peristiwa itu. Tidak berapa lama, cuaca pun
kembali terang seperti sedia kala. Seluruh tubuh Laras telah menjelma menjadi
batu. Batu itu kemudian mereka letakkan di pinggir jalan bersandar ke tebing.
Oleh masyarakat setempat, batu itu mereka beri nama Batu Menangis.
4.
Analisis Kajian
Intertekstual
Struktur Drama Malin Kundang
a. Tema : Kedurhakaan terhadap ibu
b. Tokoh :
1)
Malin Kundang
2)
Mande Rubayah
3)
Rasyid
4)
Saudagar
5)
Putri
c. Penokohan dan perwatakan
No
|
Nama tokoh
|
Sisi keterlibatan
|
Sifat Tokoh
|
Peran dan
perwatakan
|
Berkembang atau
tidaklnya
|
Pencerminan terhadap
manusia
|
1
|
Malin Kundang
|
Tokoh sentral
|
Antagonis
(“Apa kau gila, saya tidak pernah mempunyai ibu miskin, tua seperti kau.”)
|
Tokoh utama
juga tokoh bulat
|
Tokoh berkembang
|
|
2
|
Mande Rubayah
|
Tokoh sentral
|
Protagonis
(“Ya sudah Malin Kundang kalau memang
demikian keinginanmu, ibu juga menginginkan agar kau menjadi orang kaya dan
sukses, ibu hanya dapat mendoakan supaya engkau berhasil. Kapan engkau akan
berangkat, anakku?”)
|
Tokoh utama juga
tokoh datar
|
Tokoh statis
|
|
3
|
Rasyid
|
Tokoh bawahan
|
Protagonis
(“Mak Malin Kundang
sudah kembali dia sekarang di dermaga”)
|
Tokoh tambahan
juga tokoh datar
|
Tokoh statis
|
|
4
|
Saudagar
|
Tokoh bawahan
|
Protagonis
(“Kebetulan saya sedang
mencari 2 orang pekerja. Apakah kalian mau bekerja di tempatku?”)
|
Tokoh tambahan
juga tokoh datar
|
Tokoh statis
|
Tokoh tipikal
|
5
|
Putri
|
Tokoh bawahan
|
Antagonis
(“Suamiku tidak punya ibu
yang miskin, tua dan dekil sepertimu.”)
|
Tokoh tambahan
juga tokoh datar
|
Tokoh berkembang
|
|
No
|
Nama tokoh
|
Perwatakan
|
1
|
Malin kundang
|
Pekerja keras
untuk mengubah nasib, semangat tinggi, ketika miskin patuh ketika kaya
durhaka, giat dan rajin, tindak menghargai serta merendahkan orang.
|
2
|
Mande Rubayah
|
Sabar, pasrah
kepada Tuhan, takut kehilangan, penuh kasih
|
3
|
Rasyid
|
Ramah, malas,
peduli kepada sesama
|
4
|
Saudagar
|
Baik, sportif
dalam menilai, penuh ksih, peduli
|
5
|
Putri
|
Malu-malu tapi
mau, tidak sopan, merendahkan orang lain
|
a.
Alur :
1.
Alur berdasarkan
waktu : alur maju
2.
Alur berdasarkan
kepadatan cerita : alur erat
3.
Alur berdasarkan
kriteria cara pengakhiran cerita : alur tertutup
b.
Latar :
1.
Waktu :
1.1
Zaman dahulu (yang
entah kapan terjadinya dan tidak pasti dalam hitungan kalender masehi),
1.2
malam (Malam harinya Malin
Kundang segera meminta restu kepada ibunya yang baru saja pulang bekerja.),
1.3
pagi (Malin Kundang:“Malin Kundang
berangkat besok pagi bu”),
1.4
hujan, petir dan
badai (Tiba-tiba di tengah perjalanan, badai datang, angin bertiup kencang, gelombang air laut naik, kilat menyambar-nyambar, kapal pun terguncang. Malin Kundang:“Ada apa ini? Badai begitu
besar.” Tiba-tiba kilat menyambar Malin Kundang.)
2.
Tempat :
2.1
Pantai Air Manis,
Padang, Sumatra Barat (Rasyid:“Ada kabar baik untuk kita berdua. Saya tadi melihat ada sebuah
kapal besar yang sedang bersandar di pantai Air Manis siapa tau kita bisa ikut
merantau lewat kapal itu, maukah engkau ikut merantau denganku?”),
2.2
Warung dan
perantauan (Ketika tiba di tempat perantauan, Rasyid dan Malin Kundang beristirahat di
sebuah warung. Malin Kundang : “Bagaimana kita,
kita akan kerja apa?”Rasyid:“Tidak tahu Malin Kundang, saya juga sedang
memikirkannya.” Tiba-tiba seseorang di warung tersebut mendengar percakapan Malin Kundang
dan Rasyid)
3.
Sosial : kehidupan
di lingkungan pesisir pantai Air Manis, dan kondisi perantauan yang menuntut
bekerja keras
c. Sudut pandang : orang pertama (aku, saya, ku, kami) (Malin Kundang : “Wah kebetulan sekali saya juga bosan hidup
miskin saya mau mengubah nasib, ya saya
mau sekali jadi kapan kita mulai berangkat?”)
d.
Gaya bahasa :
hiperbola, alusio, elipsis, pleonasme., retoris
e.
Amanat :
1.
Jangan durhaka
kepada orangtuamu apalagi ibu
2.
Bekerja keras untuk
sesuatu yang diinginkan dengan giat dan rajin dan hilangkan pula rasa malas
3.
Apa yang kau tanam
itu yang akankau tuai
4.
Tetaplah rendah hati
apapun kondisinya
Struktur Drama Batu Menangis
a.
Tema : Kedurhakaan
b.
Tokoh :
1.
Laras
2.
Ibu Darmi
3.
Dewi
4.
Juned
5.
Pedagang
c. Pertokohan dan perwatakan
No
|
Nama tokoh
|
Sisi keterlibatan
|
Sifat Tokoh
|
Peran dan
perwatakan
|
Berkembang atau
tidaklnya
|
Pencerminan
terhadap manusia
|
1
|
Laras
|
Tokoh sentral
|
Antagonis
(Laras :
“Tentu saja bukan ibuku! Mereka adalah pembantu pembantuku” (jawab Laras
dengan nada sinis).
|
Tokoh utama
juga tokoh bulat
|
Tokoh berkembang
|
|
2
|
Ibu Darmi
|
Tokoh sentral
|
Protagonis
(“Tidak Dewi, (mengusap
kepala Dewi) Ibu baik baik saja. Ayo kita pergi “(berdiri kembali, dan pergi
ke sawah))
|
Tokoh utama juga
tokoh datar
|
Tokoh statis
|
|
3
|
Dewi
|
Tokoh bawahan
|
Protagonis
(Dewi :”Ibu,
ibu kenapa? (memeluk ibu ) Ada apa dengan ibu? Ibu, ibu tidak apa apa?”)
|
Tokoh tambahan
juga tokoh datar
|
Tokoh statis
|
|
4
|
Juned
|
Tokoh bawahan
|
Protagonis
(Juned :
“Hai Laras, hendak kemana kamu?” ( berjabat tangan kepada Laras)”)
|
Tokoh tambahan
juga tokoh datar
|
Tokoh statis
|
|
5
|
Pedagang
|
Tokoh bawahan
|
Protagonis
(: “Ayo mbak buahnya buahnya!” (menawari)
buahnya manis manis kok mbak
seperti mbak” ( merayu))
|
Tokoh tambahan
juga tokoh datar
|
Tokoh statis
|
Tokoh tipikal
|
No
|
Nama tokoh
|
Perwatakan
|
1
|
Laras
|
Centil, malas,
suka membentak, bermain fisik, suka mengancam, tidak mau kotor, selalu
merawat tubuhnya, jika menginginkan sesuatu harus sekarang juga, merendahkan
dan tidak menghargai keluarga
|
2
|
Ibu Darmi
|
Sabar, pemaaf,
semangat tinggi, pekerja keras, penuh kasih dan berpasrah kepada Tuhan
|
3
|
Dewi
|
Saling
mengingatkan untuk berbakti kepada orangtua, pasrah, sabar, penuh kasih, peka
terhadap perasaaan orang lain, berusaha melawan kakaknya
|
4
|
Juned
|
Ramah, suka
memberi pujian
|
5
|
Pedagang
|
Tukang merayu
wanita
|
d.
Alur :
1)
Alur berdasarkan waktu
: alur maju
2)
Alur berdasarkan
kepadatan cerita : alur erat
3)
Alur berdasarkan
kriteria cara pengakhiran cerita : alur tertutup
e.
Latar :
1. Waktu :
1.1 Zaman dahulu (yang entah kapan terjadinya dan tidak pasti dalam hitungan
kalender masehi),
1.2 Siang (Hari sudah menjelang siang, Laras pun terbangun dari tidurnya. Ia
teringat dengan alat-alat kecantikannya yang sudah habis, tak lama
kemudian ibu dan kedua adiknya datang.
Tanpa basi basi Laras langsung menghampiri ibunya yang baru sampai di pintu dan
masih terlihat lelah.),
1.3 Hujan dan petir (Beberapa saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung.
Petir menyambar-nyambar dan suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan
deras pun turun.)
2. Tempat :
2.1 meliputi
Kalimantan Barat (pedalaman) di ujung desa (Alkisah, di sebuah desa terpencil
di daerah Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah seorang janda tua yang bernama
ibu Darmi dengan dua orang putrinya yang cantik jelita, mereka bernama Laras,
dan Dewi. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang terletak di ujung desa.
),
2.2Rumah (Kemudian
laras meninggalkan adiknya, dan kembali mengagumi kecantikannya di depan
cermin.),
2.3Pasar
(Sesampainya di pasar, seorang pedagang buah buahan menawarkan dagangannya
kepada Laras, dengan ucapannya yang sedikit merayu.)
3. Sosial : kehidupan di lingkungan masyarakat
biasa yang berada pedalaman di suatu desa
f. Sudut pandang : orang pertama (aku, saya, ku, kami) (Laras: “Hmmmmm… Aku memang
perempuan tercantik di negri ini! (sambil berkaca) yayaya… benarkan adikku sayang?”
(menoleh centil kepada adiknya (Dewi) yang sedang menyapu, lalu mendekat) “Ya,
tidak seperti kamu, yang udik (mengangkat dagu Dewi dan mendorongnya) Hahaha”)
g.
Gaya bahasa :
hiperbola, alusio, elipsis, pleonasme, eufeumisme, personifikasi
h.
Amanat :
1.
Jangan durhaka
kepada orangtuamu apalagi ibu
2.
Penyesalan datang
diakhir
3.
Saling mengasihi
sesama saudara kandung
4.
Bantu dan
berbaktilah kepada orangtuamu
5.
Apa yang kau tanam
itu yang tuai
Persamaan Dan Perbedaan
Dalam Drama Malin Kundang Dan Batu Menangis
Persamaan
no
|
aspek
|
Malin Kundang
|
Batu Menangis
|
|
1
|
Tema
|
Kedurhakaan
|
Kedurhakaan
|
|
2
|
Alur
|
|||
Berdasarkan urutan waktu
|
Maju
|
Maju
|
||
Berdasarkan kepadatan cerita
|
Erat
|
Erat
|
||
Berdasarkan kriteria cara pengakhiran
|
Tertutup
|
Tertutup
|
||
3
|
Penokohan dan perwatakan
|
|||
Berdasarkan sisi keterlibatan
|
Malin Kundang : tokoh sentral
|
Laras : tokoh sentral
|
||
Mande Rubayah : tokoh sentral
|
Ibu Darmi : tokoh sentral
|
|||
Berdasarkan Sifat
Tokoh
|
Antagonis
|
Antagonis
|
||
Berdasarkan Peran dan perwatakan
|
Tokoh utama juga tokoh bulat
|
Tokoh utama
juga tokoh bulat
|
||
Berkembang atau
tidaknya
|
Tokoh berkembang
|
Tokoh berkembang
|
||
Berdasarkan
pencerminan manusia
|
Saudagar : tokoh
tipikal
|
Pedagang : tokoh
tipikal
|
||
4
|
Latar waktu
|
Hujan dan petir
Pada zaman dahulu
kala
Pagi
|
Hujan dan petir
Pada zaman dahulu
kala
Pagi
|
|
5
|
Amanat
|
Jangan durhaka kepada orangtuamu apalagi ibu
Apa yang kau tanam itu yang kau tuai
|
Jangan durhaka kepada orangtuamu apalagi ibu
Apa yang kau tanam itu yang kau tuai
|
|
6
|
Sudut pandang
|
Orang ketiga
|
Orang ketiga
|
|
7
|
Gaya bahasa
|
Alusio
Hiperbola
Elipsis
Pleonasme
|
Alusio
Hiperbola
Elipsis
Pleonasme
|
|
Perbedaan
no
|
aspek
|
Malin Kundang
|
Batu Menangis
|
1
|
Latar
|
||
|
Latar berdasarkan tempat
|
Pantai Air Manis di Padang, Sumatera Barat, di
perantauan, warung
|
Pedalaman Kalimantan Barat, di ujung sebuah desa,
rumah, sawah, pasar
|
Latar berdasarkan sosial
|
Kehidupan di lingkungan masyarakat biasa yang berada di
pedalaman hutan
|
Kehidupan di lingkungan masyarakat biasa yang berada di
pesisir pantai
|
|
2
|
Gaya bahasa
|
||
|
Gaya bahasa
|
Retoris
|
Eufemisme
personifikasi
|
3
|
Amanat
|
||
Amanat
|
Bekerja keras untuk sesuatu yang diinginkan dengan giat dan rajin dan
hilangkan pula rasa malas.
Tetaplah rendah
hati apapun kondisinya.
|
Penyesalan datang
diakhir.
Saling mengasihi sesama
saudara kandung.
Bantu dan berbaktilah
kepada orangtuamu.
|
No comments:
Post a Comment