Friday, 20 July 2018

Kajian Intertekstual dalam Naskah Drama : Malin Kundang dan Batu Menangis



Nama : Ajeng Illa
Semester 4
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Majalengka
Tugas : Kajian Intertekstual dalam Naskah Drama : Malin Kundang dan Batu Menangis
Mata Kuliah : Kajian Drama Indonesia



1.      Pengertian Intertekstual
Pendekatan intertekstual pertama diilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5).
Kemudian, pendekatan intertekstual tersebut diperkenalkan atau dikembangkan oleh Julia Kristeva. Menurut Kristeva, Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva (Worton 1990:1). Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh.


2.      Langkah langkah intertekstual
Ratna (2011:174) menyatakan bahwa secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara yaitu:
a)      Membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama,
b)      Hanya membaca sebuah teks, tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.

3.      Naskah Drama Malin Kundang dan Batu Menangis

Malin Kundang

Pada jaman dahulu kala di Pantai Air Manis, Padang Sumatera Barat ada seorang janda bernama Mande Rubayah, janda tersebut mempunyai seorang anak laki laki bernama Malin Kundang Kundang. Malin Kundang sangat disayangi ibunya lantaran sejak ia kecil sudah ditinggal oleh sang ayah. Malin Kundang pun telah tumbuh dewasa , dan ia merasa harus bisa merubah kehidupan ekonomi keluarganya. Pada suatu hari Rasyid, yang tidak lain adalah teman Malin Kundang mengetahui bahwa ada kapal besar yang sedang bersandar dipantai Air Manis dan ia berniat mengajak Malin Kundang untuk ikut merantau bersamanya.

Rasyid                         :  “Asalamualaikum Wr. Wb”
Malin Kundang           : “Walalaikum Salam Wr. Wb. Oh kamu, ada apa Rasyid?”
Rasyid                         : “Ada kabar baik untuk kita berdua. Saya tadi melihat ada sebuah kapal besar yang sedang bersandar di pantai Air Manis siapa tau kita bisa ikut merantau lewat kapal itu, maukah engkau ikut merantau denganku?”
Rasyid                         : “Bagaimana kalau besok pagi?”
Malin Kundang           : “Ya sudah lebih cepat lebih baik, tetapi saya harus meminta restu kepada ibuku dulu.”
Rasyid                         : “Baik besok saya tunggu kau di dermaga jam 9”
Malin Kundang           : “Iya terimakasih sobat.”

Malam harinya Malin Kundang segera meminta restu kepada ibunya yang baru saja pulang bekerja.

Malin Kundang           : “Ibu saya mau merubah nasib kita”
Mande                         : “Bagaimana caranya?”
Malin Kundang           : “Tadi pagi saya di beri tahu Rasyid ada kapal yang bersandar di pantai desa kita jadi kami akan pergi merantau lewat kapal itu”
Mande                         : “Malin Kundang, apakah kau tega meninggalkan ibumu yang sudah tua ini sendirian?”
Malin Kundang           : “Malin Kundang juga tidak tega, tapi Malin Kundang juga ingin merubah nasib kita dan menjadi kaya. Malin Kundang sudah bosan hidup miskin terus menerus bu.”
Mande                         : “Ya sudah Malin Kundang kalau memang demikian keinginanmu, ibu juga menginginkan agar kau menjadi orang kaya dan sukses, ibu hanya dapat mendoakan supaya engkau berhasil. Kapan engkau akan berangkat, anakku?”
Malin Kundang           : “Malin Kundang berangkat besok pagi bu.”
Mande                         : “Secepat itukah nak, kau meninggalkan ibu sendirian?”
Malin Kundang           : “Iya bu. Doakan Malin Kundang agar selamat sampai tujuan.”

Keesokan harinya, Malin Kundang disertai oleh ibunya dan Rasyid pergi menuju ke pantai desa mereka, tempat kapal besar itu bersandar.

Mande                         : “Berhati-hatilah Malin Kundang! Doa Ibu akan selalu menyertaimu”.
Malin Kundang           : “Baik ibu! Tunggulah Malin Kundang pulang dengan harta yang cukup untuk kita berdua.”

Begitulah, Malin Kundang dan Rasyid berangkat menuju ke tanah perantauan. Sedangkan, ibu Malin Kundang tetap tinggal di Kampung Pantai Air Manis.

Ketika tiba di tempat perantauan, Rasyid dan Malin Kundang beristirahat di sebuah warung.
Malin Kundang           : “Bagaimana kita, kita akan kerja apa?”
Rasyid                         : “Tidak tahu Malin Kundang, saya juga sedang memikirkannya.”

Tiba-tiba seseorang di warung tersebut mendengar percakapan Malin Kundang dan Rasyid.
Saudagar                     : “Apakah kalian benar sedang mencari pekerjaan?”
Rasyid                         : “Benar, Tuan!”
Saudagar                     : “Kebetulan saya sedang mencari 2 orang pekerja. Apakah kalian mau bekerja di tempatku?”
Rasyid                         : “Tentu saja kami mau Tuan. Kapan kami dapat mulai bekerja?”
Saudagar                     : “Kalian bisa mulai bekerja besok pagi di rumah saya.”
Malin Kundang           : “Rumah Tuan dimana?”
Saudagar                     : “Mari ikutlah denganku.”

Malin Kundang dan Rasyid ikut saudagar pergi kerumahnya. Saudagar tersebut menyewakan salah satu kamar di rumahnya untuk di tinggali oleh Malin Kundang dan Rasyid. Pada keesokan harinya mereka mulai bekerja dan diawasi terus oleh saudagar, dan rupanya Malin Kundang lebih giat dan rajin jika di bandingkan dengan Rasyid dan sang saudagar pun menyadari hal itu.
Hingga kemudian anak saudagar yang bernama putri datang dan melihat kedua karyawan baru ayahnya itu, dan rupanya putri juga kagum dengan wajah rupawan yang dimiliki Malin Kundang serta kerajinannya hingga akhirnya putri pun jatuh cinta pada pandangan pertama.

Putri                            : “Ayah siapa nama karyawan baru itu?” .
Saudagar                     : “Yang mana?”
Putri                            : “Yang rajin dan tampan itu.”
Saudagar                     : “Oh itu namanya Malin Kundang”
Putri                            : “Oh rupanya namanya Malin Kundang”
Saudagar                     : “Memangnya ada apa ?”
Putri                            : “Tidak ada apa-apa Ayah, putri cuma bertanya saja.”
Saudagar                     : “Oh ya sudah.”
Putri                            : “Baik Ayah”

Sejak hari itu, Putri semakin kagum dan cinta pada Malin Kundang. Putri selalu memperhatikan Malin Kundang diam-diam.
Setelah bekerja selama dua tahun pada ayah Putri, Malin Kundang sudah menjadi orang yang kaya karena dia selalu rajin bekerja. Rasyid dipulangkan ke kampung halamannya karena dia tidak rajin seperti Malin Kundang. Hubungan Putri dan Malin Kundang semakin dekat hingga akhirnya mereka menikah.
Sebulan setelah menikah, Malin Kundang dan Putri pergi untuk berdagang di perkampungan Pantai Air Manis. Ketika Malin Kundang dan Putri sampai di desa tersebut, Malin Kundang bertemu dengan Rasyid yang kala itu sedang melamun di pinggir pantai.

Malin Kundang           : “Hai Rasyid”
Rasyid                         : “Oh Malin Kundang rupanya kau sudah sukses sekali ya.. wah kamu sudah jadi orang kaya sekarang. Wah.. engkau sudah menjadi suami dari Putri.. Selamat ya!”
Malin Kundang           :” Iya syukur Alhamdulillah. Engkau sih dulunya kerja malas-malasan, jadi kena batunya.”
Rasyid                         : “Benar apa yang engkau katakan itu?”
Malin Kundang           : “Ya sudah saya mau berdagang dulu
Rasyid                         : “Iya.”

Mendengar berita baik tersebut Rasyid  segera mengabari Mande

Rasyid                         : “Mak Malin Kundang sudah kembali dia sekarang di dermaga”
Mande                         : “Benarkah itu ?”
Rasyid                         : “Ya mak, ayo kita kesana sekarang.”


Mande dan Rasyid pergi ke dermaga untuk menemui Malin Kundang. Sesampainya di dermaga.


Mande                         : “Malin Kundang , Malin Kundang (berteriak), Malin Kundang anakku , kau sudah kembali nak. Ibu sangat merindukanmu.”
Putri                            : “Kau siapa wanita tua? Berani mengaku sebagai ibu suamiku?”
Mande                         : “Saya memang ibunda Malin Kundang.”
Malin Kundang           : “Apa kau gila, saya tidak pernah mempunyai ibu miskin, tua seperti kau.”
Mande                         : “Ini Ibumu nak, aku yang melahirkan dan membesarkanmu, mengapa engkau seperti ini?”
Putri                            : “Suamiku tidak punya ibu yang miskin, tua dan dekil sepertimu.”
Malin Kundang           : “Kau bukan ibuku! Menjauhlah dariku, wanita tua” (sambil mendorong Mande dan segera pergi meninggalkan ibunya).

Kemudian sang ibu menangis sedih, anak yang dilahirkan dan dibesarkannya tidak mengakuinya.
Air matanya berlinang. Malin Kundang segera pergi dari desa.

Mande                         : “Ya Allah, mengapa anakku satu-satunya seperti itu? Aku yang melahirkan dan membesarkan dia Ya Allah. Berilah Ia teguranmu, sesungguhnya dia adalah anak yang durhaka!”

Tiba-tiba di tengah perjalanan, badai datang, angin bertiup kencang, gelombang air laut naik, kilat menyambar-nyambar, kapal pun terguncang.

Malin Kundang           : “Ada apa ini? Badai begitu besar.”

Tiba-tiba kilat menyambar Malin Kundang.

Malin Kundang           : “Aaaaarccccckkkkhhhhh……!!!!!!!!”

Dan pada saat itu juga berubahlah Malin Kundang menjadi sebuah batu. Malin Kundang berubah diri menjadi batu akibat telah mendurhakai ibunya.



BATU MENANGIS

Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah seorang janda tua yang bernama ibu Darmi dengan dua orang putrinya yang cantik jelita, mereka bernama Laras, dan Dewi. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang terletak di ujung  desa.  Sejak ayah mereka meninggal, kehidupan mereka menjadi susah. Ayah mereka tidak meninggalkan harta warisan sedikit pun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, ibu Darmi bekerja di sawah atau ladang orang lain sebagai buruh upahan.
Sementara, putri sulungnya Laras, ia bersifat sangat jauh berbeda dengan kedua adiknya. Dia bersifat sombong, congkak dan durhaka. Selain itu, ia juga seorang gadis yang malas. Kerjanya hanya bersolek dan mengagumi kecantikannya di depan cermin. Ia sama sekali tidak mau membantu ibunya mencari nafkah. Setiap kali ibunya mengajaknya pergi ke sawah, ia selalu menolak.

Laras               : “Hmmmmm… Aku memang perempuan tercantik di negri ini! (sambil berkaca) yayaya… benarkan adikku sayang?” (menoleh centil kepada adiknya (Dewi) yang sedang menyapu, lalu mendekat) “Ya, tidak seperti kamu, yang udik (mengangkat dagu Dewi dan mendorongnya) Hahaha”
Dewi               : “Iya kak,  kakak sangatlah cantik, andai kakak lebih bisa membantu ibu, pasti kakak akan terlihat lebih cantik” (duduk dan berhenti menyapu)
Laras               : “Apa maksudmu? (melotot) Katakan sekali lagi!”(menjambak)..
Dewi               : “Aduh! (kesakitan) Iya kak,maafkan aku. Kakak memang cantik, bahkan tetap cantik meski kakak tak membantu ibu, maafkan aku kak…(masih  di jambak oleh laras)
Laras               : (melepaskan jambakannya) Huhhh. Ya aku maafkan! Tapi, ingatt! Jika kau mengulanginya lagi, aku akan lebih daripada ini!” (membentak , kembali berkaca)

Kemudian laras meninggalkan adiknya, dan kembali mengagumi kecantikannya di depan cermin. Ia sama sekali tidak mau membantu ibunya mencari nafkah. Setiap kali ibunya mengajaknya pergi ke sawah, ia selalu menolak.

Ibu                   : “Nak! Ayo bantu Ibu bekerja di sawah”(ajak sang ibu)
Laras               : “Ke sawah?  Aku tidak mau, nanti kuku dan kulitku kotor terkena lumpur. Pergi saja sana bersama Dewi. Aku tidak mau.
Ibu                   :”Laras, memangnya kenapa kalau kuku dan kulitmu terkena lumpur? Dewi saja yang setiap hari membantu ibu pergi ke sawah terkena lumpur, Alhamdulillah sampai sekarang ia baik baik saja”
Laras               :“Aku bilang tidak, ya tidak! Aku tidak mau pergi ke sawah. Ibu tidak usah samakan aku dengan si Dewi. Sudah sudah Ibu saja yang pergi sana sama si Dewi”
Ibu                   : (duduk sambil mengusap dada, lemas)
Dewi               : “Kakak tidak seharusnya kakak bicara seperti itu, jika kakak tidak ingin ikut  pergi membantu ibu ke sawah.ya sudahh tidak usah bicara seperti itu.
Laras               : “Kauuu!” (menunjuk, mendorong Dewi dan pergi meninggalkan semuanya)
Dewi               :“Ibu, ibu tidak apa apa?” (merangkul )
Ibu                   : “Sudah, sudah, ibu tidak apa-apa, ayo kita pergi  ke sawah, nanti keburu siang” (berdiri)
Dewi               : “Ibu, kalau ibu tidak kuat biar Dewi saja yang pergi ke sawah, ibu istirahat saja  di rumah” (mengajak duduk)
Ibu                   : “Tidak Dewi, (mengusap kepala Dewi) Ibu baik baik saja. Ayo kita pergi “(berdiri kembali, dan pergi ke sawah)

Setelah ibu dan kedua adiknya pergi ke sawah, Laras pun kembali ke rumah, saat ia ingin kembali mempercantik wajahnya, ternyata alat alat kecantikan yang ia miliki sudah habis, Laras merasa kesal, yang ia lakukan hanya mondar mandir tak karuan, ia pun terlelah sampai tertidur.

Laras               : “Huuggghhh. Alat-alat kecantikanku sudah habis, (memeriksa alat kecantikannya) kalau begini, bagaimana bisa aku menjadi wanita tercantik di negeri ini? Aku    harus segera membelinya” (dengan kesal ia menunggu ibunya sampai tertidur).

Hari sudah menjelang siang, Laras pun terbangun dari tidurnya. Ia teringat dengan alat-alat kecantikannya yang sudah habis, tak lama kemudian  ibu dan kedua adiknya datang. Tanpa basi basi Laras langsung menghampiri ibunya yang baru sampai di pintu dan masih terlihat lelah.

Laras               : “Bu! Alat alat kecantikan ku sudah habis, ibu harus segera membelikan yang baru”
Dewi               : “Kak, ibu baru saja pulang, seharusnya kakak bisa  lebih menghargai ibu”
Ibu                   :“Laras, ibu masih lelah, besok saja ya, pasti ibu belikan” (duduk menghela nafas)
Laras               : “Tidak bu! (membentak ibu) Aku ingin sekarang!”
Dewi               : “Kakak!” ( kesal terhadap kakaknya )
Ibu                   : “Sudah tidak ak apa apa Dewi, biar ibu beli sekarang (bicara kepada dewi) tapi Laras, ibu tak tahu alat kecantikan seperti apa yang kamu maksud, kamu harus ikut”
Laras               : “Ya. Aku mau ikut ke pasar, tapi dengan syarat Ibu, Dewi, dan Dewi harus berjalan di belakangku” (menunjuk satu persatu orang yang di sebutnya)
Dewi               : “Maksud kakak?” (heran)
Laras               : “Iya, kalian berjalan di belakangku. Aku malu berjalan sejajar bersama kalian”
Dewi               : “Kenapa harus malu, Kak? Bukankah kita ini keluarga kandung?”
Laras               :“Kalian seharusnya berkaca. Lihat saja wajah kalian yang tak terurus dan pakaian kalian pun sangat kotor. Apalagi ibu, sudah keriput, bau. Jelas aku malu!” (sombong )

Walaupun sedih, sang Ibu pun menuruti permintaan putrinya. Setelah itu, berangkatlah mereka ke pasar secara beriringan. Laras berjalan di depan, sedangkan Ibunya mengikuti dari berlakang dengan membawa keranjang. Meskipun mereka satu keluarga, penampilan mereka kelihatan sangat berbeda. Seolah-olah mereka bukan keluarga yang sama. Laras dengan pakaian yang sangat bagus, sedangkan sang Ibu dan adiknya kelihatan sangat kusut, dengan pakaian yang sangat kotor. Di tengah perjalanan, Laras bertemu dengan temannya yang tinggal di kampung lain.

Juned               : “Hai Laras, hendak kemana kamu?” ( berjabat tangan kepada Laras)”
Laras               : “Ke pasar..”(jawab laras pelan)
Juned               : “Lalu, siapa orang di belakangmu itu? Apakah dia ibumu?” (sambil menunjuk orangtua yang membawa keranjang).
Laras                           : “Tentu saja bukan ibuku! Mereka adalah pembantu pembantuku” (jawab Laras dengan nada sinis).
Juned               :“Laras, sudah cantik, baik pula, mau membawa pembantu pembantunya belanja” (seolah olah percaya dengan jawaban Laras tadi).
Laras               : (tersenyum dan kembali berjalan )
Dewi               :”Sabar ya bu, (memeluk ibu) Kakak! Kenapa kakak bicara seperti itu pada dia. Kami bukan pembantu! Dan ini ibu kakak, bukan pembantu.” (sambil berjalan bicara pada kakaknya sejajar)
Laras                           :”Ssssyyuuutttt….jangan mempermalukanku!” (menutup mulut Dewi dengan telunjuknya)

Laksana disambar petir ibu Darmi itu mendengar ucapan putrinya. Tapi dia hanya terdiam sambil menahan rasa sedih. Setelah itu, mereka pun melanjutkan perjalanan menuju ke pasar. Sesampainya di pasar, seorang pedagang buah buahan menawarkan dagangannya kepada Laras, dengan ucapannya yang sedikit merayu.

Pedagang        : “Ayo mbak buahnya buahnya!” (menawari)  buahnya manis  manis kok mbak seperti mbak” ( merayu)
Laras               : “Oh, terima kasih” (sambil memilih buah dan membelinya)
Pedagang        : “Silahkan... silahkan buahnya. Dijamin ko mbak pasti  manis seperti pembelinya”
Laras               : “Hai..pembantu pembantuku, bawalah buah ini”
Pedagang        : “Terima kasih mbak…semoga mbaknya tambah cantik”
Laras               : “Ayo pembantuku sekarang giliran ke tempat alat kecantikan” (sambil menepuk bahu ibunya)
Ibu                   : (diam sejenak dan terjatuh)
Dewi               :”Ibu, ibu kenapa? (memeluk ibu ) Ada apa dengan ibu? Ibu, ibu tidak apa apa?”

Sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaan anaknya. Ternyata ia sedang berdoa kepada Tuhan agar menghukum anaknya yang durhaka itu. Laras melihat mulut ibunya komat-komit sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.

Laras               : “Hei! Ibu sedang apa?” (dengan nada membentak dan menoleh kepada ibunya)
Ibu                   : “Ya, Tuhan! Ampunilah hambamu yang lemah ini. Hamba sudah   tidak sanggup lagi menghadapi sikap anak hamba yang durhaka ini. Berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!”

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir menyambar-nyambar dan suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan deras pun turun. Pelan-pelan, kaki Laras berubah menjadi batu. Laras pun mulai panik.

Laras               : “Ibu! Ibu! Apa yang terjadi dengan kakiku, Bu,? Adduuhhh keras sekali bu (tanya Laras sambil berteriak.) Maafkan Laras, Maafkan Laras Bu! Bu Laras tidak akan mengulanginya lagi, Bu!” (seru Laras semakin panik).

Sang ibu dan adiknya menangis melihat anak dan kakaknya berubah menjadi batu. Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu tidak dapat lagi dihindari. Gadis durhaka itu hanya bisa menangis dan menangis menyesali perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah menjadi batu, sang Ibu masih melihat air menetes dari kedua mata anaknya. Semua orang yang lewat di tempat itu juga ikut menyaksikan peristiwa itu. Tidak berapa lama, cuaca pun kembali terang seperti sedia kala. Seluruh tubuh Laras telah menjelma menjadi batu. Batu itu kemudian mereka letakkan di pinggir jalan bersandar ke tebing. Oleh masyarakat setempat, batu itu mereka beri nama Batu Menangis.


4.      Analisis Kajian Intertekstual

Struktur Drama Malin Kundang

a.       Tema : Kedurhakaan terhadap ibu

b.      Tokoh :
1)      Malin Kundang
2)      Mande Rubayah
3)      Rasyid
4)      Saudagar
5)      Putri

c.       Penokohan dan perwatakan

No
Nama tokoh
Sisi keterlibatan
Sifat Tokoh
Peran dan perwatakan
Berkembang atau tidaklnya
Pencerminan terhadap manusia
1
Malin Kundang
Tokoh sentral
Antagonis
(“Apa kau gila, saya tidak pernah mempunyai ibu miskin, tua seperti kau.”)

Tokoh utama juga  tokoh bulat
Tokoh berkembang

2
Mande Rubayah
Tokoh sentral
Protagonis
(“Ya sudah Malin Kundang kalau memang demikian keinginanmu, ibu juga menginginkan agar kau menjadi orang kaya dan sukses, ibu hanya dapat mendoakan supaya engkau berhasil. Kapan engkau akan berangkat, anakku?”)

Tokoh utama juga tokoh datar
Tokoh statis

3
Rasyid
Tokoh bawahan
Protagonis

(“Mak Malin Kundang sudah kembali dia sekarang di dermaga”)
Tokoh tambahan juga tokoh datar
Tokoh statis

4
Saudagar
Tokoh bawahan
Protagonis
(“Kebetulan saya sedang mencari 2 orang pekerja. Apakah kalian mau bekerja di tempatku?”)

Tokoh tambahan juga tokoh datar
Tokoh statis
Tokoh tipikal
5
Putri
Tokoh bawahan
Antagonis
(“Suamiku tidak punya ibu yang miskin, tua dan dekil sepertimu.”)

Tokoh tambahan juga tokoh datar
Tokoh berkembang


No
Nama tokoh
Perwatakan
1
Malin kundang
Pekerja keras untuk mengubah nasib, semangat tinggi, ketika miskin patuh ketika kaya durhaka, giat dan rajin, tindak menghargai serta merendahkan orang.
2
Mande Rubayah
Sabar, pasrah kepada Tuhan, takut kehilangan, penuh kasih
3
Rasyid
Ramah, malas, peduli kepada sesama
4
Saudagar
Baik, sportif dalam menilai, penuh ksih, peduli
5
Putri
Malu-malu tapi mau, tidak sopan, merendahkan orang lain


a.       Alur :
1.      Alur berdasarkan waktu : alur maju
2.      Alur berdasarkan kepadatan cerita : alur erat
3.      Alur berdasarkan kriteria cara pengakhiran cerita : alur tertutup

b.      Latar :
1.      Waktu :
1.1   Zaman dahulu (yang entah kapan terjadinya dan tidak pasti dalam hitungan kalender masehi),
1.2   malam (Malam harinya Malin Kundang segera meminta restu kepada ibunya yang baru saja pulang bekerja.),
1.3   pagi (Malin Kundang:“Malin Kundang berangkat besok pagi bu”),
1.4   hujan, petir dan badai (Tiba-tiba di tengah perjalanan, badai datang, angin bertiup kencang, gelombang air laut naik, kilat menyambar-nyambar, kapal pun terguncang.  Malin Kundang:“Ada apa ini? Badai begitu besar.”  Tiba-tiba kilat menyambar Malin Kundang.)
2.      Tempat :
2.1   Pantai Air Manis, Padang, Sumatra Barat (Rasyid:“Ada kabar baik untuk kita berdua. Saya tadi melihat ada sebuah kapal besar yang sedang bersandar di pantai Air Manis siapa tau kita bisa ikut merantau lewat kapal itu, maukah engkau ikut merantau denganku?”),
2.2   Warung dan perantauan (Ketika tiba di tempat perantauan, Rasyid dan Malin Kundang beristirahat di sebuah warung. Malin Kundang   : “Bagaimana kita, kita akan kerja apa?”Rasyid:“Tidak tahu Malin Kundang, saya juga sedang memikirkannya.” Tiba-tiba seseorang di warung tersebut mendengar percakapan Malin Kundang dan Rasyid)
3.      Sosial : kehidupan di lingkungan pesisir pantai Air Manis, dan kondisi perantauan yang menuntut bekerja keras

c.       Sudut pandang : orang pertama (aku, saya, ku, kami) (Malin Kundang  : “Wah kebetulan sekali saya juga bosan hidup miskin saya mau mengubah  nasib, ya saya mau sekali jadi kapan kita mulai berangkat?”)

d.      Gaya bahasa : hiperbola, alusio, elipsis, pleonasme., retoris

e.       Amanat :
1.      Jangan durhaka kepada orangtuamu apalagi ibu
2.      Bekerja keras untuk sesuatu yang diinginkan dengan giat dan rajin dan hilangkan pula rasa malas
3.      Apa yang kau tanam itu yang akankau tuai
4.      Tetaplah rendah hati apapun kondisinya





 Struktur Drama Batu Menangis
a.       Tema : Kedurhakaan

b.      Tokoh :
1.      Laras
2.      Ibu Darmi
3.      Dewi
4.      Juned
5.      Pedagang

c.       Pertokohan dan perwatakan
No
Nama tokoh
Sisi keterlibatan
Sifat Tokoh
Peran dan perwatakan
Berkembang atau tidaklnya
Pencerminan terhadap manusia
1
Laras
Tokoh sentral
Antagonis

(Laras               : “Tentu saja bukan ibuku! Mereka adalah pembantu pembantuku” (jawab Laras dengan nada sinis).

Tokoh utama juga  tokoh bulat
Tokoh berkembang

2
Ibu Darmi
Tokoh sentral
Protagonis

(“Tidak Dewi, (mengusap kepala Dewi) Ibu baik baik saja. Ayo kita pergi “(berdiri kembali, dan pergi ke sawah))
Tokoh utama juga tokoh datar
Tokoh statis

3
Dewi
Tokoh bawahan
Protagonis

(Dewi              :”Ibu, ibu kenapa? (memeluk ibu ) Ada apa dengan ibu? Ibu, ibu tidak apa apa?”)

Tokoh tambahan juga tokoh datar
Tokoh statis

4
Juned  
Tokoh bawahan
Protagonis

(Juned             : “Hai Laras, hendak kemana kamu?” ( berjabat tangan kepada Laras)”)

Tokoh tambahan juga tokoh datar
Tokoh statis

5
Pedagang
Tokoh bawahan
Protagonis

(: “Ayo mbak buahnya buahnya!” (menawari)  buahnya manis  manis kok mbak seperti mbak” ( merayu))

Tokoh tambahan juga tokoh datar
Tokoh statis
Tokoh tipikal


No
Nama tokoh
Perwatakan
1
Laras
Centil, malas, suka membentak, bermain fisik, suka mengancam, tidak mau kotor, selalu merawat tubuhnya, jika menginginkan sesuatu harus sekarang juga, merendahkan dan tidak menghargai keluarga
2
Ibu Darmi
Sabar, pemaaf, semangat tinggi, pekerja keras, penuh kasih dan berpasrah kepada Tuhan
3
Dewi  
Saling mengingatkan untuk berbakti kepada orangtua, pasrah, sabar, penuh kasih, peka terhadap perasaaan orang lain, berusaha melawan kakaknya
4
Juned  
Ramah, suka memberi pujian
5
Pedagang
Tukang merayu wanita

d.       Alur :
1)      Alur berdasarkan waktu : alur maju
2)      Alur berdasarkan kepadatan cerita : alur erat
3)      Alur berdasarkan kriteria cara pengakhiran cerita : alur tertutup

e.       Latar :
1. Waktu :
1.1  Zaman dahulu (yang entah kapan terjadinya dan tidak pasti dalam hitungan kalender masehi),
1.2  Siang (Hari sudah menjelang siang, Laras pun terbangun dari tidurnya. Ia teringat dengan alat-alat kecantikannya yang sudah habis, tak lama kemudian  ibu dan kedua adiknya datang. Tanpa basi basi Laras langsung menghampiri ibunya yang baru sampai di pintu dan masih terlihat lelah.),
1.3  Hujan dan petir (Beberapa saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir menyambar-nyambar dan suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan deras pun turun.)
2. Tempat :
2.1 meliputi Kalimantan Barat (pedalaman) di ujung desa (Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah seorang janda tua yang bernama ibu Darmi dengan dua orang putrinya yang cantik jelita, mereka bernama Laras, dan Dewi. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang terletak di ujung  desa.  ),
2.2Rumah (Kemudian laras meninggalkan adiknya, dan kembali mengagumi kecantikannya di depan cermin.),
2.3Pasar (Sesampainya di pasar, seorang pedagang buah buahan menawarkan dagangannya kepada Laras, dengan ucapannya yang sedikit merayu.)
3. Sosial : kehidupan di lingkungan masyarakat biasa yang berada pedalaman di suatu desa

f.       Sudut pandang : orang pertama (aku, saya, ku, kami)  (Laras: “Hmmmmm… Aku memang perempuan tercantik di negri ini! (sambil berkaca) yayaya… benarkan adikku sayang?” (menoleh centil kepada adiknya (Dewi) yang sedang menyapu, lalu mendekat) “Ya, tidak seperti kamu, yang udik (mengangkat dagu Dewi dan mendorongnya) Hahaha”)

g.      Gaya bahasa : hiperbola, alusio, elipsis, pleonasme, eufeumisme, personifikasi

h.      Amanat :
1.      Jangan durhaka kepada orangtuamu apalagi ibu
2.      Penyesalan datang diakhir
3.      Saling mengasihi sesama saudara kandung
4.      Bantu dan berbaktilah kepada orangtuamu
5.      Apa yang kau tanam itu yang tuai



Persamaan Dan Perbedaan
Dalam Drama Malin Kundang Dan Batu Menangis

Persamaan

no
aspek
Malin Kundang
Batu Menangis
1
Tema
Kedurhakaan
Kedurhakaan
2
Alur
Berdasarkan urutan waktu
Maju
Maju
Berdasarkan kepadatan cerita
Erat
Erat
Berdasarkan kriteria cara pengakhiran
Tertutup
Tertutup
3
Penokohan dan perwatakan
Berdasarkan sisi keterlibatan
Malin Kundang : tokoh sentral
Laras : tokoh sentral
Mande Rubayah : tokoh sentral
Ibu Darmi : tokoh sentral
Berdasarkan  Sifat Tokoh
Antagonis
Antagonis
Berdasarkan Peran dan perwatakan
Tokoh utama juga  tokoh bulat
Tokoh utama juga  tokoh bulat
Berkembang atau tidaknya
Tokoh berkembang
Tokoh berkembang
Berdasarkan pencerminan manusia
Saudagar : tokoh tipikal
Pedagang : tokoh tipikal
4
Latar waktu
Hujan dan petir
Pada zaman dahulu kala
Pagi
Hujan dan petir
Pada zaman dahulu kala
Pagi
5
Amanat
Jangan durhaka kepada orangtuamu apalagi ibu
Apa yang kau tanam itu yang kau tuai

Jangan durhaka kepada orangtuamu apalagi ibu
Apa yang kau tanam itu yang kau tuai

6
Sudut pandang
Orang ketiga
Orang ketiga
7
Gaya bahasa
Alusio
Hiperbola
Elipsis
Pleonasme
Alusio
Hiperbola
Elipsis
Pleonasme








Perbedaan

no
aspek
Malin Kundang
Batu Menangis
1
Latar

Latar berdasarkan tempat
Pantai Air Manis di Padang, Sumatera Barat, di perantauan, warung
Pedalaman Kalimantan Barat, di ujung sebuah desa, rumah, sawah, pasar
Latar berdasarkan sosial
Kehidupan di lingkungan masyarakat biasa yang berada di pedalaman hutan
Kehidupan di lingkungan masyarakat biasa yang berada di pesisir pantai
2
Gaya bahasa

Gaya bahasa
Retoris
Eufemisme
personifikasi
3
Amanat
Amanat
Bekerja keras untuk sesuatu yang diinginkan dengan giat dan rajin dan hilangkan pula rasa malas.
Tetaplah rendah hati apapun kondisinya.
Penyesalan datang diakhir.
Saling mengasihi sesama saudara kandung.
Bantu dan berbaktilah kepada orangtuamu.


No comments:

Post a Comment